DERAKPOST.COM – Untuk Ekosistem Semenanjung Kampar dan juga Suaka Margasatwa Kerumutan, diusul untuk menjadi bagian dari target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia dari sektor hutan dan lahan atau yang dikenal dengan Forest and Land Used (FoLU Net Sink). Gagasan ini sejalan dengan Visi Siak Kabupaten Hijau yang salah satu indikatornya pengurangan emisi GRK.
Gagasan dan inisiatif ini dibahas dalam diskusi terfokus bersama Bupati Siak Drs Alfedri M.Si, dan Koalisi Serumpun (Perkumpulan Elang, Eco Nusantara dan Perkumpulan Manka), juga dihadiri NGO lingkungan di Riau, serta masyarakat di Kabupaten Sak yang berada kawasanya ekosistem Semenanjung Kampar.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan DR Ir Agus Justianto M.Sc mensosialisasikan kebijakan pendekatan FoLU Net Sink ini.
Pemerintah Indonesia menetapkan target penurunan emisi sebesar 29% usaha sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan bagian dari komitmen iklim global Paris Agreement.
Sektor kehutanan adalah yang paling besar kontribusinya terhadap emisi GRK Indonesia terutama berasal dari halnya kebakaran hutan gambut. Sementara itu sekitar 55% gambut di Sumatera berada di Riau atau seluasan 5 juta hektar lebih, yang diketahui 10 tahun terakhir paling berdampak dan menderita dari akibat kebakaran hutan gambutnya.
Dalam sambutannya, Bupati Siak Alfedri mengatakan, guna mewujudkan pembangunan lingkungan melalui Visi Siak Hijau, pihaknya akan terus bekerja keras agar kebakaran hutan dan lahan semakin berkurang.
Dengan demikian, Ia berharap kualitas lingkungan hidup akan meningkat dan kesejahteraan masyarakat juga berdampak positif. Apalagi dalam konteks ekosistem Semenanjung Kampar, 36% kawasannya berada di administrasi kabupaten Siak. Kondisi ekosistem gambut ini relatif baik dan telah menjadi pusat perhatian dunia.
“Bagi Pemerintah Kabupaten Siak, melalui PERDA No. 4 Tahun 2022 tentang Siak Kabupaten Hijau semakin mempertegas komitmen pemerintah kabupaten untuk mendukung kebijakan nasional dalam pencapaian net zero emission termasuk dengan pendekatan Indonesia FoLU Net Sink 2030,” kata Bupati Alfedri dalam sambutannya.
Koalisi Koalisi Serumpun memaparkan bahwa dua lanskap gambut Semenanjung Kampar merupakan kawasan dengan tutupan hutannya masih alami dan cukup terjaga. Luas Semenanjung Kampar sendiri yakni 734.799,7 hektar dan SM Kerumutan mencapai 192.835,9 hektar.
“Ada penurunan kebakaran hutan gambut dalam tiga tahun terakhir. Ini kesempatan baik untuk sama-sama mendorong hutan gambut di Riau bisa jadi solusi iklim dari Indonesia untuk global. Visi Siak Kabupaten Hijau dan kebijakan penurunan emisi GRK dengan pendekatan FoLU Net Sink ini semakin memungkinkan bisa mengintegrasikan pengelolaan di lanskap di Semenanjung Kampar dan Kerumutan,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang, Janes Sinaga.
Dia pun menambahkan, dalam inisiatif maupun kebijakan yang kini dibangun pemerintah sebagai halnya upaya penyelamatan lanskap ekosistem ini, penting untuk memastikan adanya peran dan akses kelola bagi masyarakat dalam kawasan hutan dan lahan.
Dengan demikian, perbaikan tata kelola dan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca harus dalam kerangka menjamin keberlanjutan tata kelola yang baik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Manka, Juliarta Bramansa Ottay mengatakan, komitmen untuk FoLU adalah bagian dari partisipasi Indonesia dalam menjawab tantangan iklim global saat ini dan masa mendatang.
Harapannya, kebijakan dan komitmen FoLU ini akan bisa terus dijaga untuk bersifat inklusif yang membuka ruang kemitraan dan tidak meninggalkan pihak manapun. Pemerintah Siak yang memberikan dukungan pada inisiatif ini adalah langkah besar bagi tercapainya aksi kolaboratif para pihak untuk menjaga alam dan manusia.
“Salah satu aspek yang ingin kita dorong untuk terus bisa diisi adalah nilai penting dari biodiversitas dalam komitmen FoLU di semua tingkat dari pusat hingga daerah. Sebab ekonomi kita di tingkat makro hingga pola hidup masyarakat di sekitar hutan, semua bergantung dan memberi pengaruh pada biodiversitas,” kata Juliarta.
Direktur Eksekutif EcoNusantara Zul Fahmi mengatakan, kesadaran para pihak yang selama ini berkepentingan terhadap hutan dan gambut di Riau cukup tinggi. Tekanan publik terhadap sektor swasta telah mendorong lahirnya komitmen untuk menerapkan praktik baik dan mengikuti standard nasional dan internasional. Namun mengingat ekosistem gambut yang unik, maka penyelamatannya tidaklah optimal jika dilakukan secara sendiri-sendiri.
“Gambut adalah satu hamparan yang terintegrasi secara hidrologis. Upaya penyelamatannya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Butuh kerja sama semua pihak baik pemerintah, pemegang konsesi maupun masyarakat itu sendiri. Dan di Riau, komitmen pemerintah dengan visi lingkungan yang digaungkan adalah modal kuat untuk memulai kerja secara kolaboratif di ekosistem Semenanjung Kampar dan Kerumutan,” kata Zul.
Untuk diketahui tutupan hutan alami di Semenanjung Kampar berada berada di kawasan Taman Nasional seluas 31.480,3 hektar, Suaka Margasatwa 14.237,8 hektar, kawasan hutan non izin yakni 68.179,5 hektar. Tutupan hutan yang bagus juga berada di kawasan konsesi HTI yang izinnya dicabut pemerintah seluas 8.780,9 hektar, begitu juga di konsesi restorasi ekosistem yang dikelola perusahaan seluas 130.080,9 serta di kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai program Perhutanan Sosial (PIAPS revisi VI) yakni 24.424,6 hektar.
Sedangkan di Kerumutan, lebih dari 94.796,8 hektar adalah Suaka Margasatwa, lalu 32.871,5 kawasan hutan non izin, dan 55.081,0 hektar ditetapkan untuk program Perhutanan Sosial. Di kawasan juga ada konsesi HTI yang sudah dicabut izinnya oleh pemerintah dengan luas 10.086,6 hektar yang berpotensi untuk dipulihkan. **Rul/Rls