HARI Bhayangkara ke-77 tahun ini diperingati istimewa oleh Polri melalui serangkaian kegiatan, melibatkan berbagai lapisan masyarakat termasuk aktivis mahasiswa dan organisasi pemuda.
Salah satu dialog yang dikemas dalam bentuk hybrid, kombinasi tatap muka dan virtual, disiarkan secara nasional, sesuai undangan adalah dialog penguatan internal Polri dengan tema “Polisi Unggul yang Presisi dan Humanis”. Menarik, karena ini bermakna, ada semangat keterbukaan dan juga introspeksi.
Menyitir bait lagu “Ikan Dalam Kolam” ciptaan musikus Melayu Indonesia, Husein Bawafie, yang populer di Tanah Air, polri kelihatannya perlu melihat ikan di dalam kolam dengan menenangkan dulu airnya sebening kaca. Kenapa? Karena “air di kolam” kepolisian akhir-akhir ini memang tak sebening kaca.
Penyebabnya, beberapa kasus mencoreng arang di kening kepolisian, seperti dimuat berbagai media. Bacalah kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa yang menyeret beberapa perwira tinggi polri dan jadi bulan-bulanan netizen. Demikian pula tragedi stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur yang menewaskan 132 penonton, pemukulan mahasiswa oleh anak oknum polisi di Medan, dan beberapa kasus lain yang berbau “pagar makan tanaman”.
Pada satu sisi, kasus-kasus tersebut menjadi “blessing in disguise” bagi institusi kepolisian. Ada hikmah tersembunyi. Ketika pimpinan kepolisian berani tegas mengambil sikap imparsial alias tak pandang bulu, kepolisian mendapat tepuk tangan “standing ovation” dari publik, khususnya dari para netizen Indonesia yang terkenal amat kritis. Fiat justitia et pereat mundus, keadilan harus ditegakkan biar pun langit runtuh. Bukankah polri adalah institusi penegak hukum?
Sikap tak pandang bulu pimpinan kepolisian ini tentu saja direspon positif oleh publik. Buktinya, dalam survei indikator tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri, yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, pada periode Februari-Maret 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri meningkat dan berada di angka 70,8 persen (detiknews, 26 Maret 2023). Pada bulan Desember 2022 tingkat kepercayaan publik terhadap Polri berada pada angka 70,4%. Wajar karena kasus-kasus tersebut telah menyita perhatian publik, dan publik menunggu detik demi detik, gerangan apa langkah-langkah yang akan dilakukan Polri.
Namun pada sisi lain, dikhawatirkan, kasus yang mencoreng arang di kening Polri tersebut hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Dalam Teori Gunung Es (Iceberg Theory), hanya sebagian kecil saja puncak gunung es yang muncul di permukaan, kaki gunung es yang jauh lebih besar (menenggelamkan kapal mewah Titanic pada awal abad ke-20) berada di bawah permukaan laut yang gelap tak terbaca. Menyadari hal itulah agaknya, tema dialog penguatan internal polri yang diselenggarakan beberapa hari lalu, menyiratkan pesan, Polri agaknya menyadari perlu ada penguatan-penguatan terhadap slogan “presisi untuk negeri”. Bahkan Polri diharapkan tidak hanya presisi tetapi juga humanis.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah mencanangkan program, bahwa polri harus prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (disingkat: Presisi). Akronim presisi mengandung makna yang dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, presisi adalah ketepatan. Pengertian lain, presisi dipandang sebagai tingkat perbedaan yang sekecil-kecilnya antara nilai pengamatan dengan nilai yang sebenarnya. Presisi padanannya akurat.
Masalahnya, presisi dan humanis dalam sudut pandang institusi, dinilai dari ukuran kinerja secara normatif, sedang dari masyarakat diukur dari tingkat kepuasan. Dengan kata lain, tak ada masalah dalam pendekatan komunikasi ke dalam (managing staff) tapi dalam pendekatan komunikasi ke luar (managing people), agaknya ini masih menjadi pekerjaan rumah.
Sebab, masalah yang dihadapi sebuah organisasi dimana pun di universe ini, bahkan sebuah dinasti sekali pun, bukanlah musuh dari luar yang mudah diprediksi, dikenali dan diantisipasi, tapi musuh dalam selimut. Pakar manajemen dunia Peter Drucker menyebut, “the enemy is not out there”.
Musuh tidak berada di luar sana, musuh berada dalam selimut atau dalam diri kita sendiri, merekalah yang menggunting dalam lipatan, yang menohok kawan seiring. Air kolam memang perlu dibuat sebening kaca untuk melihat mana ikan yang baik mana ikan predator.
Dirgahayu Polri. Semogalah ikhtiar penguatan presisi dan pemantapan sikap humanis polri menghasilkan buah yang ranum, untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang semakin tingggi. Dengan demikian polri akan lebih presisi untuk negeri dan lebih dekat di hati.
Penulis:
Chaidir
Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR