Ini Dia Kisah Suardi Sang Kepala SDN 10 Lukun di Kepulauan Meranti Kuat Berjuang Kemajuan Pendidikan
DERAKPOST.COM – Perjuangan para guru bertugas di SDN 10 Lukun, Dusun Keridi, Desa Batin Suir, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ini patut menjadi contoh dalam dedikasi para guru mencerdaskan generasi bangsa.
Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November itu, menjadi momen refleksi bagi semua pihak. Di balik gemerlap acara itu, ada kisah pengorbanan para pendidik di daerah terisolir. Seperti guru-guru yang bertugas di SDN 10 Lukun, Dusun Keridi, Desa Batin Suir, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Kabut pagi masih menyelimuti, embun menetes di daun-daun, dan mentari belum sepenuhnya muncul. Namun, para guru di SDN 10 Lukun sudah bersiap di tepi pelabuhan kayu. Dengan menaiki kapal kecil, mereka menyeberangi laut dan menyusuri sungai selama satu jam untuk sampai ke sekolah.
Sesampainya di dermaga desa, perjalanan belum selesai. Mereka harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer melewati jalan berlumpur di antara hutan bakau. Ketika musim banjir pasang tiba, medan semakin berat. Air bisa mencapai batas lutut, membuat para guru harus mengarungi genangan sambil membawa peralatan mengajar.
Sepatu dan sandal jepit kerap menjadi tidak berguna di jalan yang licin dan berlumpur. Untuk itu, para guru memilih berjalan tanpa alas kaki demi memastikan anak-anak di desa ini tetap mendapatkan pendidikan. “Ini memang berat, tapi pendidikan anak-anak lebih penting. Kami ingin mereka punya masa depan yang lebih baik,” ujar salah seorang guru.
Dikutip dari SabangMeraukeNEWS.com.
Perjuangan ini dilakukan tiap hari dengan penuh keikhlasan. Bagi para guru, keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis yang sulit tidak menjadi penghalang untuk memberikan ilmu kepada generasi muda.
Kisah para guru di SDN 10 Lukun adalah pengingat akan arti sebenarnya dari pengabdian. Mereka menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menunjukkan nilai ketangguhan dan pengorbanan.
Di tengah kesunyian Sungai Suir, terdengar suara mesin pompong yang melaju membawa Suardi, seorang kepala sekolah, bersama empat guru lainnya. Setiap hari, perjalanan itu mereka tempuh dari Pelabuhan Desa Banglas Barat untuk mengajar di SDN 10 Lukun, sebuah sekolah di desa terpencil, Dusun Keridi, Desa Batinsuir, Kecamatan Tebingtinggi Timur.
Pompong kecil yang digunakan Suardi adalah satu-satunya moda transportasi untuk mencapai sekolah. Perahu itu dibeli Suardi dengan uang pribadinya seharga Rp8 juta. Hingga kini, sudah lima perahu yang ia gunakan selama pengabdian panjangnya.
“Kalau pompong ini rusak, kami tidak bisa pergi mengajar. Ini satu-satunya transportasi menuju sana,” ujarnya.
Selama perjalanan menyusuri sungai, mereka sering membuka perbekalan dan makan bersama di atas perahu. Meski perjalanan cukup menguras tenaga dan harus waspada terhadap gelombang, suasana tetap penuh canda tawa.
Namun, di balik keceriaan itu, ancaman selalu mengintai. Pompong mereka kerap oleng dihempas gelombang, mesin mati di tengah sungai, hingga kipas perahu tersangkut sampah.
“Kalau kipas tersangkut, saya harus menyelam ke dasar sungai untuk memperbaikinya,” kata Suardi mengenang perjuangannya.
Suardi telah mengabdikan hidupnya sebagai guru sejak 1988 dan menjadi kepala sekolah di SDN 10 Lukun sejak 1996. Namun, perjuangannya bukan hanya soal perjalanan menuju sekolah. Lahan tempat sekolah ini berdiri adalah hasil jerih payahnya. Pada tahun 2000, ia membeli tanah seluas 3.240 meter persegi dengan harga Rp250 ribu dari kantong pribadinya.
“Dulu, di Desa Batinsuir tidak ada guru dan sekolah. Anak-anak suku Akit tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung. Saya memutuskan membeli tanah ini dan mengajukan proposal ke pemerintah Bengkalis pada 2002 untuk membangun sekolah,” tutur Suardi.
Suardi mengingatkan, perjuangannya bukan sekadar mendirikan bangunan sekolah, tetapi membangun harapan bagi anak-anak di daerah terpencil. Tanpa dirinya dan para guru yang rela bertaruh nyawa, generasi di sana mungkin tak memiliki akses pendidikan.
“Kalau tidak ada kami di sini, siapa lagi? Tidak banyak yang sanggup bertahan mengajar di tempat ini,” katanya penuh haru.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berperan besar dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun, tantangan yang dihadapi guru di pedalaman Kabupaten Kepulauan Meranti jauh berbeda dibandingkan rekan-rekan mereka di kota. Di sana, pendidikan menjadi perjuangan yang penuh pengorbanan.
Salah satu kisah inspiratif datang dari Lismayani, seorang guru sekolah dasar yang bertugas di desa terpencil. Setiap hari, ia bersama teman-temannya harus menempuh perjalanan panjang yang penuh tantangan dan menguras tenaga untuk sampai ke sekolah.
Perjalanan dimulai dari rumah dengan sepeda motor, sering kali diantar suaminya. Namun, perjalanan itu hanya langkah awal. Lismayani harus melanjutkan dengan menaiki kapal kecil selama satu jam, kemudian berjalan kaki melewati jalan becek dan berlumpur untuk tiba di sekolah.
“Kalau air pasang siang hari, kami bisa menumpang kapal kecil milik warga untuk menuju kapal pompong kami. Tapi kalau air pasang sore, kami terpaksa berjalan kaki. Ketika pasang dalam, jalannya berlumpur dan sangat menguras tenaga,” ungkapnya.
Bagi Lismayani dan guru-guru lainnya, perjalanan ini adalah rutinitas yang mereka jalani dengan semangat, karena murid-murid mereka telah menunggu di sekolah.
Lismayani mulai mengajar di sekolah tersebut setelah mengetahui bahwa sekolah itu kekurangan guru. Ia pun memutuskan untuk mengisi kekosongan sebagai guru honorer, hingga akhirnya diangkat menjadi pegawai PPPK.
“Awalnya saya mendengar informasi kalau sekolah itu kekurangan guru. Saya pun berniat membantu proses belajar mengajar di sana. Sekarang saya sudah menjadi PNS,” tuturnya.
Motivasi Lismayani semakin kuat ketika menyaksikan banyak anak yang putus sekolah. Kurangnya dukungan dari orang tua dan keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama anak-anak di pedalaman tidak melanjutkan pendidikan.
“Walaupun kami berada di pedalaman, kami tidak ingin tertinggal, khususnya dalam bidang pendidikan,” katanya dengan penuh keyakinan.
Bagi Lismayani, tugasnya bukan sekadar mengajar, tetapi juga memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik untuk anak-anak di daerah terpencil. Ia dan delapan guru lainnya yang bertugas di sekolah tersebut menunjukkan bahwa pendidikan adalah hak semua anak, di mana pun mereka berada.
Kisah Lismayani adalah cerminan perjuangan tanpa batas seorang guru di pelosok negeri. Dengan semangat dan dedikasi yang kuat, ia membuktikan bahwa tantangan bukanlah penghalang untuk membawa pendidikan ke ujung negeri. Mereka adalah pejuang pendidikan yang bekerja tanpa pamrih demi masa depan generasi bangsa.
Hari Guru Nasional bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga momen untuk menghargai perjuangan para pendidik di pelosok negeri dan menjadi momen yang tepat untuk menghargai dedikasi sosok seperti Suardi dan Lismayani serta pahlawan tanpa jasa lainnya yang tidak hanya mengajar ilmu, tetapi juga menanamkan keberanian dan harapan bagi generasi muda di ujung negeri.
Mari kita semua memberi penghormatan kepada mereka yang tanpa lelah melangkah melewati batas demi masa depan anak-anak bangsa. (Dairul)