DERAKPOST.COM – Diketahui, sekarang ini institusi Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang telah diajukan oleh Edi Basri, pengelola lahan kebun sawit seluas 180 hektar berada didalam kawasan hutan, di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau digugat oleh Yayasan Riau Madani.
Artinya, MA menolak kasasi yang diajukan oleh Edi Basri. Putusan kasasi ini semakin memperkuat akan hal dua putusan hukum sebelumnya yang diketuk oleh Pengadilan Negeri (PN) Kampar dan serta Pengadilan Tinggi (PT) Riau. Adapun, putusan kasasi tersebut teregister dengan nomor 5540K/Pdt/2024. Putusan kasasi ditetapkan pada Senin, 16 Desember lalu dengan bunyi amar: Ditolak.
Terkait ini Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Surya Dharma SAg, SH MH ketika dikonfirmasi, juga membenarkan terbitnya putusan MA itu yang telah menolak kasasi Edi Basri tersebut. “Ya, kita telah terima itu informasi soal putusan kasasi yang lewat laman e-court. Putusannya yakni menolak kasasi yang diajukan pemohonya yakni Edi Basri,” kata Surya Darma.
Dikutip dari SabangMeraukeNEWS.com. Ia
pun menyampaikan apresiasi atas putusan majelis kasasi MA tersebut. Maka putusan itu kian memperkuat spirit perjuangan dari Yayasan Riau Madani dalam perjuangkan keberadaan hutan di Indonesia dan Riau khususnya. Ia menilai putusan kasasi itu sangat sensitif terhadap upaya penyelamatan hutan dan lingkungan (pro natura).
“Tentu Yayasan Riau Madani mensyukuri putusan kasasi MA tersebut. Ini membuktikan bahwa gugatan yang kami layangkan benar adanya,” kata Surya Darma.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) Riau juga telah menolak banding yang diajukan oleh Edi Basri. Putusan PT Riau menguatkan putusan PN Kampar nomor:17/Pdt.G/LH/2023/PN.Bkn tanggal 20 November 2023.
Putusan banding PT Riau teregister dengan nomor: 10/PDT-LH//2024/PT.PBR tertanggall 29 Februari 2024. Putusan ditetapkan oleh trio majelis hakim banding yang diketuai oleh Drs Arifin SH, MH serta anggota majelis yakni Abdul Hutapea SH, MH dan Petriyanti SH, MH.
Dengan terbitnya putusan tersebut, maka kebun sawit seluas 180 hektare yang dikelola Edi Basri berada di Desa Bencah Kelubi, Kecamatan Tapung, Kampar, Provinsi Riau diperintahkan untuk dipulihkan kembali sesuai fungsi awal kawasan hutan.
Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang telah mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani tanggal 20 November 2023 lalu. Adapun gugatan didaftarkan pada 15 Februari 2023 silam dengan nomor dengan nomor 17/Pdt-G/LH/2023/PN Bangkinang.
Yayasan Riau Madani yang konsisten dan aktif melakukan gugatan hukum di bidang lingkungan hidup, secara khusus di sektor kehutanan ini, menggugat Edi Basri sebagai tergugat. Sementara PT Arara Abadi diseret sebagai turut tergugat I dan Menteri Lingkungan Hidup (LHK) Republik Indonesia ditarik sebagai turut tergugat II. Yayasan Riau Madani mempersoalkan keberadaan kebun sawit seluas 180 hektare di Kampar yang berada dalam kawasan hutan.
Dalam amar putusannya pada pokok perkara, trio majelis hakim Andry Simbolon SH, MH dkk mengabulkan gugatan penggugat Yayasan Riau Madani untuk seluruhnya. Majelis hakim menyatakan tergugat konvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum. Soalnya, status objek sengketa yakni kebun sawit seluas 180 hektare itu, berdasarkan titik koordinat yang dibuktikan dalam persidangan adalah merupakan kawasan hutan.
Atas dikabulkannya gugatan tersebut, maka tergugat diperintahkan untuk memulihkan objek sengketa yakni kawasan hutan yang telah ditanami kelapa sawit.
“Menghukum tergugat konvensi untuk memulihkan objek sengketa seluas ± 180 hektare terletak di Desa Bencah Kelubi Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau,” demikian putusan hakim PN Bangkinang.
Selain itu, hakim juga menghukum tergugat konvensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp10 juta setiap harinya kepada negara apabila tergugat konvensi lalai melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
“Menghukum turut tergugat I konvensi dan turut tergugat II konvensi untuk tunduk dan patuh pada putusan ini,” tegas majelis hakim.
UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional Dikesampingkan
Putusan PN Bangkinang dan PT Riau ini dinilai telah menjadi bukti bahwa dalih keterlanjuran dan pengampunan atas keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja, telah dapat dikesampingkan.
Soalnya, UU Cipta Kerja telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai UU yang inkonstitusional bersyarat. Ironisnya, meski UU Cipta Kerja telah dinyatakan MK inkonstitusional, namun pemerintah justru tetap nekat menerbitkan turunan peraturan yang mengatur tentang penyelesaian penguasaan kawasan hutan tanpa izin lewat jalur pengenaan sanksi denda administrasi.
Adapun turunan UU Cipta Kerja tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Lewat beleid itulah, pemerintah saat ini ingin melakukan pemutihan dan pengampunan atas penguasaan hutan tanpa izin, secara khusus bagi kelompok dan korporasi kebun kelapa sawit.
Bahkan, atas dasar PP Nomor 24 Tahun 2021 itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah melakukan pendataan dan inventarisasi kebun sawit dalam kawasan hutan untuk dimasukkan ke dalam kebijakan pengampunan atau pemutihan.
“Bagaimana mungkin undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional dijadikan rujukan dalam menerbitkan peraturan pemerintah sebagai aturan teknis pelaksanaan UU tersebut. Ini sangat tidak logis dan tidak memiliki kepastian hukum,” pungkasnya. (Dairul)