JAKARTA, Derakpost.com- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini diminta untuk jujur soal data perkebunan ilegal itu di kawasan hutan mendapatkan pemutihan atau menjadi legal. Harapan itu dipaparkanya Ketua Komisi IV DPR RI Sudin.
Hal itu, disampaikan Sudin pada saat Rapat Dengar Pendapat. Ia menyebut, berdasarkan laporan awal KLHK, itu terdapat 3,2 juta ha perkebunan ilegal pada kawasan hutan. Tapi dari jumlah itu, pihaknya masih menemukan jutaan ha perkebunan dibiarkan ini beroperasi. Salah satunya yang berada di Riau.
Sebagai informasi, bahwasa ketentuan pemutihan perkebunan ilegal mengacu pada mekanisme keterlanjuran dalam UU Cipta Kerja pasal 110 dan di pasal 110B. Pekebun pasti akan diberi sanksi administratif dan sewaktu mengurus beberapa persyaratan itu agar menjadi perkebunan legal.
Sementara itu, menjadikan perkebunan ilegal menjadi legal, pemerintah harus melakukan pelepasan hutan. “Saya ini, masih ingat diwaktu itu saya tanyakan berapa banyak kebun ilegal di wilayah Indonesia. Saat itu Sekjend KLHK sebut ada 3,2 juta ha’,” kata Sudin mengingat-ingat.
Dilansir cnnindonesia. Katanya, pulang dari Riau, itu gubernurnya mengatakan, bahwa perkebunan ilegal yang ada di Riau luasannya kurang lebih 1,8 juta ha dan tidak tersentuh, belum tersentuh. Selain untuk di Riau, sambungnya, juga menemukan pembiaran perkebunan ilegal di Kalimantan Tengah itu seluas 830 ha.
Sudin lantas mempertanyakan status perkebunan tersebut kepada Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Ruandha Agung Sugardiman. “Saya tanya pada Dirjen Planologi, dari 830 ribu ha di Kalimantan Tengah, adakah yang sudah diputihkan? saya mau tanya. Jawab !” ujarnya.
Mendapat pertanyaan itu, Ruandha pun menjawab pertanyaan tersebut. Ia pun mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum ada itu melepas kawasan hutan. Ratusan perusahaan itu, kata Ruandha, masih dalam tahap proses permohonan pemutihan.
Sudin pun langsung menimpali Ruandha. Ia bertanya, apakah Ruandha bisa mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Ia meminta agar Ruandha jujur soal data pemutihan perkebunan ilegal di kawasan hutan.
“Anda mempertanggungjwabkan pernyataan anda apabila saya menemukan yang sudah lepas bagaiamana? kita harus jujur terbuka ini. Saya enggak mau ada sembunyi sembunyi data,” ucap dia.
“Saya tidak menyalahkan siapa pun. Saya ingin pengusaha tidak boleh dirugikan, tapi yang lebih tidak boleh dirugikan lagi adalah pemerintah,” imbuhnya.
Rundha pun mengulang jawabannya. Ia menegaskan bahwa pelepasan hutan masih dalam proses, belum ada yang perkebunan yang mendapat pemutihan.
Tak puas dengan jawaban Ruandha, Sudin pun kembali mencecarnya.
“Saya tanya ada belum yang sudah pelepasan? saya tau ada permohonan, 5 tahun lalu pun ada. Yang saya tanyakan sudah ada belum yang dilepaskan [kawasan hutan]?” tanyanya.
“Data detail rincinya kita cek lagi,” jawab Ruandha.
Sudin meminta data itu dibuka pada rapat kerja berikutnya. Ia meminta KLHK jujur meskipun banyak pihak menekan.
“Saya ingin terbuka. Jangan kita memperkaya orang yang sudah kaya dengan jalan yang kurang baik dan tidak benar,” ucapnya.
“Saya tau anda semua ada yang menekan. Ada yang coba coba bermain. Saya bukan enggak tahu. Yang saya minta adalah kejujuran, bagaimana sih cara memperbaiki negara ini,” imbuhnya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat ada 222 perusahaan sawit ilegal yang beroperasi di dalam kawasan hutan akan mendapatkan ‘pengampunan dosa’ atau pemutihan dari pemerintah. Dengan kata lain, perusahaan itu bakal tetap beroperasi meskipun tak memenuhi ketentuan.
Pengkampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian mengatakan pengampunan dosa itu diberikan melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).
“Sebanyak 222 entitas perusahaan perkebunan sawit dengan total luasan 765 ribu ha akan mendapat pengampunan dosa’dari negara melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam pasal 110A dan 110B UU Ciptaker,” kata Uli secara tertulis, Selasa (11/1/22).
Dalam UU Ciptaker pasal 11OA dan Pasal 110B diterapkan mekanisme keterlanjuran dan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan atau ilegal. **Rul