DERAKPOST.COM – Ipda E, ajudan Kapolri yang melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada jurnalis di Jawa Tengah. Hal itu kini menjadi sorotan.Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan juga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
LBH Pers, dan ICJR mendesak penerapan proses hukum pidana dalam halnya kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut. Yang diketahui kejadian di Semarang, hari Sabtu (5/4/2025). Menurut mereka, bahwasanya pemukulan kepala dilakukan Ipda E kepada jurnalis foto LKBN ANTARA Makna Zaezar, termasuk pelanggaran serius, maka wajib ditindaklanjuti dengan tidak hanya sanksi etik tegas diberlakukan.
Dikutip dari Tempo.co. LBH Pers dan ICJR memandang tindakan pelaku bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap akan pelaksanaan hak pers untuk mencari, mengolah serta bahkan menyebarluaskan informasi. “Permintaan maaf itu juga tidak menghapus tanggung jawab etik dan serta potensi tindak pidana,” kata mereka dalam keterangan tertulisnya.
Sebelumnya, difasilitasi pihak Polda Jawa Tengah, Ipda E ada meminta maaf kepada jurnalis yang bersangkutan, pada tanggal 6 April 2025. Meski polisi itu ada minta maaf, LBH Pers dan ICJR menilai proses etik dan disiplin memang sepatutnya itu, dijalankan sesuai pada Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan serta Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
LBH Pers dan ICJR ini mengutip Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan, tindakan pemukulan terhadap jurnalis yang dapat dianggap sebagai penganiayaan karena menyebabkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Selain itu, Pasal 335 KUHP tentang ancaman kekerasan juga dapat digunakan, ancaman verbal yang dilontarkan kepada para jurnalis bisa dikategorikan sebagai upaya memaksa orang lain melalui ancaman kekerasan.
“Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan Pasal 52 KUHP, jika kejahatan dilakukan oleh seorang pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini seorang anggota polisi) hukuman dapat diperberat,” tutur mereka.
LBH Pers dan ICJR memandang tindakan pelaku bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap pelaksanaan hak pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi. Aturan mengenai hak pers ini sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pers. “Polri harus melakukan, menjalankan penegakan hukum secara profesional dan transparan.”
Diketahui, peristiwa kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan Ipda E, terjadi ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meninjau arus balik di Stasiun Tawang Semarang pada Sabtu, 5 April 2025. Kala itu ajudan Listyo itu memukul bagian belakang kepala Makna dan mengumbar ancaman kepada jurnalis yang sedang meliput.
“Waktu posisi mau balik itu dia mengeplak kepala saya. Jadi dia mengeplak ya, kalau bahasanya sini itu ngeplak bagian kepala belakang,” ujar Makna saat dikonfirmasi dari Jakarta, Minggu, 6 April 2025.
Sementara itu, menurut penuturan Makna, ancaman yang keluar dari mulut Ipda E, terjadi tak lama sebelum kepalanya kemudian dipukul. “Waktu sebelum saya pindah ke seberang, si ajudannya ini ngomel-ngomel, kalian kalau dari pers tak tempeleng satu-satu, gitu,” kata Makna menirukan.
Setelah peristiwa itu, Ipda E akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada Makna pada Ahad malam, 6 April 2025. Permintaan maaf itu disampaikan usai pertemuan yang digelar di Kantor Perum LKBN ANTARA Biro Jawa Tengah di Semarang. (Dairul)