DERAKPOST.COM – Setelah menempuh perjuangan panjang mengupayakan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit bagi daerah penghasil, pemerintah pusat akhirnya menyetujui pemberian transfer dana dari sektor industri sawit kepada daerah.
Pemerintah akan menyalurkan DBH Sawit tahun 2023 sebesar Rp3,4 triliun dalam dua tahap, yakni pada Bulan Mei sebanyak 50 persen dan Bulan Oktober sebanyak 50 persen untuk 350 daerah.
Terhadap hal tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO kepada wartawan, mengatakan, alokasi DBH ini sudah sangat lama dicita-cita kan oleh Provinsi, Kabupaten Kota penghasil minyak sawit
“Perjuangan panjang itu akhirnya membuahkan hasil dan kami petani sawit patut mengapresiasi Gubernur Riau, Syamsuar, sebagai inisiator beberapa kali pertemuan sesama Gubernur Penghasil Sawit di Riau yang langsung dihadiri oleh 7 Gubernur penghasil sawit. Untuk itu kami petani sawit memberikan apresiasi hormat atas jerih payah para Gubernur yang sudah berjuang untuk keadilan provinsi sawit melalui DBH, terkhusus Gubernur Riau yang tidak pernah lelah berjuang untuk keadilan DBH,” kata Gulat, Ahad (16/4/2023).
Selama ini, petani sawit, kata Gulat, terkena dua dampak imbas langsung mengenai tidak adanya manfaat daerah penghasil sawit dalam bentuk manfaat penambahan anggaran daerah, melalui DBH.
Pertama, petani sawit sering kena cibir oleh masyarakat karena dituduh sebagai penyebab cepatnya rusak jalan dan jembatan yang dibangun dari APBD di kabupaten kota lokasi kebun.
“Kedua, dampaknya kepada kami sebagai petani karena jalan-jalan di perkebunan (jalan utama) hancur lebur sementara kami petani sawit sudah menghasilkan devisa, Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE),” cakapnya.
Tahun 2022 lalu, penerimaan BK CPO (dan turunannya) mencapai Rp 39,8 triliun, sedangkan PE CPO (dan turunannya) sebesar Rp 34,59 triliun, sehingga totalnya Rp74,39 Triliun. Khusus untuk PE ini, turun separuhnya dibanding tahun 2021.
Perlu diketahui, kata Gulat, bahwa setelah berdirinya BPDPKS tahun 2015 lalu, praktis biaya untuk perkebunan sawit terkait Sarpras, SDM dan infrastruktur sudah tidak dianggarkan lagi di APBN maupun di APBD. Dengan tidak dimasukkan biaya perkebunan sawit dalam APBN dan APBN, tentu DBH ini sangat tepat dan urgen.
Oleh karena itu, sudah tepat, Daerah Sentra sawit akan mendapatkan manfaat dalam bentuk DBH.
“Hanya kami meminta Menkeu segera menerbitkan Juknis untuk apa saja dana ini bisa digunakan. Kami mengusulkan lebih diarahkan kepada jalan, jembatan, sekolah terutama kesejahteraan guru, pusat kesehatan masyarakat yang lebih modern dan dokter siaga.
Cukup menariknya juga adalah bahwa sumber dana DBH ini berasal dari BK dan Levy (pungutan ekspor), jadi 100% dari dana sawit, jadi tidak mengurangi porsi APBN. Perihal indikator keberhasil daerah dalam pemanfaatan dana tersebut memang harus dibuat, sehingga akan memenuhi 3T, tepat sasaran, tepat manfaat, tepat akuntabilitas,” urainya.
Direalisasikannya DBH ini, sambung Gulat, merupakan semangat bersama Indonesia dengan tagline #sawit adalah kita. Jadi kalau harga minyak sawit bagus, maka semua akan merasakannya dan sebaliknya jika harga minyak sawit anjlok, semua akan menerima dampaknya.
Perihal akan berkurangnya dana BPDPKS (badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit) setelah DBH ini, Gulat mengarakan memang demikian faktanya. Dan tidak menjadi masalah.
“Toh juga dana tersebut selalu berlebih tiap tahunnya (tidak terserap), apalagi saat ini lebih mahal minyak bumi solar dari CPO sehingga untuk Program B35 (Sudah hampir setahun), praktis dana BPDPKS tidak terpakai untuk membayar selisih harga CPO dengan Solar,” kata Gulat.
Padahal sebelumnya dana BPDPKS tiap tahunnya paling banyak (70-85%) digunakan untuk membayar selisih harga CPO Vs Solar untuk program biodisel tersebut. Intinya selama harga Solar lebih mahal dari CPO maka berlimpahlah sisa uang di BPDPKS.
DBH ini juga, sambung Gulat, semakin membuka peluang lebih cepatnya didirikan Badan Nasional Sawit Indonesia (BNSI) yang langsung di bawah Presiden.
“Nantinya BPDPKS dilebur ke BNSI ni. Sehingga semua yang terkait sawit dari hulu ke hilir hanya BNSI yang berhak memutuskan tanpa direcoki oleh Kementerian lain, seperti saat ini tidak kurang 5 Kementerian yang menjadi “induk semang” nya BPDPKS, sehingga terkesan BPDPKS mandul,” tukas Gulat.
Untuk diketahui, Penyaluran DBH Sawit dilakukan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan serta kegiatan strategis lainnya yang akan diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
“Karena Bulan Mei ini kami akan menyalurkan DBH Sawit, maka kami berharap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) akan selesai sesudah kami berkonsultasi dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta.
Ia menjelaskan syarat penyaluran DBH Sawit yaitu rencana kegiatan untuk tahap pertama dan laporan realisasi untuk tahap kedua. Adapun sebanyak 350 daerah yang akan menerima DBH Sawit tahun ini terdiri dari daerah penghasil, daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil, dan provinsi daerah penghasil, termasuk empat daerah otonomi baru di Papua.
Sumber dana penyaluran DBH Sawit yakni pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) sawit. Besarnya porsi DBH Sawit diatur minimal 4 persen dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Pembagiannya, provinsi akan mendapatkan 20 persen dari DBH Sawit, kabupaten/kota penghasil akan mendapatkan 60 persen, serta kabupaten/kota berbatasan sebesar 20 persen. Dengan DBH minimal 4 persen, proporsi provinsi sebesar 0,8 persen, kabupaten/kota penghasil 2,4 persen, serta kabupaten/kota berbatasan 0,8 persen. **Rul