SAYA suka membaca headline Harian
Analisa, “Hujan Es-Angin Kencang Landa Marindal,” edisi Senin, 21 Februari 2022 lalu. Ada subjudul kecil: Pengendara Motor Tewas Tertimpa Tiang Listrik. Judulnya melukiskan peristiwa, subjudul menginformasikan korbannya.
Lead-lead awal dan paragaraf ikutannya tak diawali dengan statemen pejabat, entah dari kepolisian atau Balai Kota, sebagaimana kerap terjadi. Tetapi bertabur dengan reportase, deskripsi dan suasana. Ada angin kencang disertai hujan es disertai korban jiwa akibat tertimpa tiang listrik dan sejumlah rumah rusak
Reporter juga menafsirkan peristiwa (bukan opini) sebagai akibat cuaca yang berubah cepat. Digambarkan awalnya cuaca cukup cerah. Bahkan matahari bersinar sangat terik. Namun tiba-tiba muncul mendung pekat.
Tidak lama kemudian turun hujan bercampur butiran es sebesar kelereng yang disertai angin kencang. Butiran es yang jatuh dalam jumlah banyak disertai angin kencang membuat suara agak cukup kuat pada atap rumah penduduk khususnya yang terbuat dari seng.
Diceritakan juga akibatnya penduduk keluar rumah untuk menampung butiran es. Bahkan akibat terpaan angin yang cukup kencang membuat butiran es itu tersapu hingga masuk ke dalam rumah.
Eh, angin yang bertiup semakin kencang membuat atap rumah warga terbang dibawa angin. Sejumlah atap rumah warga yang berada di Pasar III, IV dan V Jalan Kebun Kopi, Desa Marindal terbawa angin. Sejumlah warga dilaporkan mengalami korban luka akibat tertimpa atap rumah.
Dari pengamatan wartawan sejak dari Persimpangan ruas jalan Brigjen Zein Hamid dengan JalanTritura hingga Jalan Ahmad (Abdul) Haris Nasution (Kawasan depan Asrama Haji Medan) terdapat cukup banyak ranting-ranting pohon kayu yang bertebaran (karena patah dipukul angin kencang) di pinggir badan jalan.
Kemudian, tampak armada mobil Dinas Pertamanan membersihkan ranting pohon dan juga memangkas dahan pohon yang patah tetapi masih tergantung supaya tidak mengganggu pengguna jalan.
Inilah, efek dari kehadiran reporter di lapangan. Tidak bergantung kepada pers rilis yang di-copy paste belaka. meliput langsung peristiwa memungkinkan reporter menggunakan mata dan telinganya memantau apa yang terjadi. Reporter telah mewakili mata dan telinga pembaca hingga bagai menyaksikan peristiwa tersebut.
Kepekaan menangkap berita juga berperan. Mendengar hujan es dan angin kecang itu, reporter bergegas ke lapangan. Inilah, jurnalis sejati. Bukan kaleng-kaleng, istilah anak Medan. Bukannya bepangku tangan memeluk lutut di rumah.
Tugas dasar profesi wartawan adalah melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita untuk dikirim atau dimuat pada media massa.. Wartawan adalah orang yang bertugas mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikan secepatnya kepada masyarakat luas melalui media.
Mengandalkan berita copy paste, tanpa meliput ke lapangan, saya kira, maaf, semacam pembohongan publik. Ajaib. Tak meliput kok bisa pula menulis berita.
Berita ini pun tak bernafas pendek. Diberitakan juga sang korban. seorang pria pengendara sepeda motor Honda Beat BK 5481 AFJ yang melintas di Jalan Setia Pasar III, Dusun IX, Desa Marindal I tewas akibat tertimpa tiang listrik yang terbuat dari beton.
Walau tidak ada yang mengetahui secara persis bagaimana peristiwa itu terjadi di tengah hujan yang deras, reporter masih mewawancarai Ari Ivan (38), warga setempat. Tidak ada warga sekitar yang mengaku mengenali korban. Toh, reporter mencoba mencari tahu, siapa gerangan korban. Ternyata bernama Suryadi warga Desa Sena, Dusun I, Kecamatan Batangkuis.
Di akhir berita, dilaporkan petugas kepolisian langsung turun ke lokasi. Bersama petugas PLN dan Pemadam kebakaran mengevakuasi korban dan kabel listrik yang membentang di badan jalan. Peristiwa ini membuat jalan sempat macet total. Warga juga takut terkena setrum aliran listrik. Akibat tiang listrik yang tumbang membuat aliran listrik kawasan Marindal dan sekitarnya terputus hingga malam hari.
Saya pun teringat ungkapan Cogito ergo sum dari Rene Descartes, filsuf ternama dari Prancis. Artinya adalah: “aku berpikir maka aku ada”. Maksudnya satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, ia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah.
Boleh dikatakan, dalam konteks berita ini, sang reporter meragukan desas desus, apalagi yang sebatas “katanya-katanya” belaka. Tapi langsung menukik ke jantung peristiwa. Melihat, mendengar, bertanya ini dan itu, dan melaporkannya. Aku meliput maka aku ada. Dengan kata lain, aku tidak meliput, tapi copy paste saja, maka aku tidak ada. **
Penulis:
Bersihar Lubis
Jurnalis di Medan