PEKANBARU, Derakpost.com- Direksi PT Pertamina Hulu Rokan lagi-lagi bungkam atas Surat Elektronik Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) Nomor 092 /LPPHI-III/2022 tertanggal 21 Maret 2022.
Melalui surat itu, LPPHI antara lain menyampaikan bahwa LPPHI pada 11 Maret 2022 telah mengirimkan surat elektronik kepada VP SCM (Supply Chain Management) PT PHR perihal mohon konfirmasi dan informasi, namun pada batas waktu 17 Maret 2022 tidak mendapat jawaban, maka pada 18 Maret 2022 LPPHI telah merilis berita terkait.
Kemudian, LPPHI mendapat informasi terbaru, bahwa SCM PT PHR pada tanggal 28 Januari 2022 telah mengundang 29 perusahan untuk mengisi RFI (Request For Information) terkait rencana PT PHR akan memilih perusahan untuk melaksanakan kegiatan pemulihan limbah TTM B3 yang merupakan warisan PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) di blok Rokan. Direksi PHR tidak menjawab apakah informasi itu benar atau tidak.
LPPHI juga menanyakan mengapa banyak perusahan yang punya pengalaman pemulihan limbah TTM B3 tidak diundang? Hal ini juga tidak dijawab Direksi PHR.
Lebih lanjut dalam surat elektronik tersebut, LPPHI mempertanyakan adanya informasi yang LPPHI peroleh bahwa dari 29 perusahan yang telah diundang, hanya 17 perusahaan yang merespon dengan mengisi 10 butir dari RFI, akan tetapi di antaranya hanya 12 perusahaan yang memenuhi syarat. Direksi PHR tidak menjawab pertanyaan tersebut.
LPPHI juga menanyakan apakah benar 12 Perusahan tersebut adalah PT. Adhi Karya, PT. Andalas Karya Mulya, PT. Geopatra Solusindo Energy Pratama, PT. Hutama Karya, PT. Nasional Hijau Lestari, PT. Pembangunan Perumahan, PT.PPLI, PT Rifansi Dwi Putra, PT. Solusi Bangun Indonesia, PT Wastec International, PT Pertamina Patra Niaga, dan PT Tenang Jaya Sejahtera? Direksi PHR juga tidak memberikan jawaban.
LPPHI inipun menanyakan kebenaran
informasi yang mengatakan bahwa dari 12 perusahan yang memenuhi syarat RFI menurut PHR, mengapa hanya tiga perusahan saja yang pernah punya pengalaman pemulihan limbah TTM, yaitu PT PPLI dan PT Terang Jaya Sejahtera serta PT Solusi Bangun Indonesia, sementara PT Green Planet dan PT Sumi Gita Jaya yang sudah dikenal sebagai perusahaan yang mumpuni dan punya pengalaman dalam pengolahan limbah TTM-B3 tidak lulus. Sebagian besar yang lulus justru adalah perusahan jasa konstruksi yang hanya memiliki peralatan alat berat tetapi tidak punya kemampuan mengolah limbah TTM B3. Mengapa demikian terjadi? Direksi PHR juga bungkam mengenai hal ini.
LPPHI juga menanyakan apakah hasil RFI ini terkait kemampuan dasar perusahaan berdasarkan pengalaman sejenis pemulihan limbah TTM B3 sudah sesuai dengan PTK 007 Revisi 4 dan apakah terhadap semua limbah TTM di blok Rokan akan dipulihkan hanya dengan metode bioremediasi saja?
Sehingga, pengaturan RFI patut diduga untuk menyingkirkan perusahaan yang memang tidak mau dipilih.
Selain itu, LPPHI juga menanyakan apakah metode pemulihan limbah TTM di blok Rokan mengacu pada Permen LHK nomor 6 tahun 2020, sebab menurut LPPHI, jika membaca RFI Jasa Pemulihan Lahan Terkontaminasi Minyak tersebut, gambaran lingkup jasa pemulihan itu meliputi: Manajemen Proyek, Delineasi, Pembebasan Lahan, Penyusunan Dokumen RPFLH (Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup), Rekayasa Engineering, Pengurusan Perijinan, Penyedian Borrow Pit, Pengelolaan Limbah B3 (penggalian, transportasi, dan pengolahan), penyediaan alat berat untuk operasi limbah B3, remediasi limbah B3 insitu, Pengambilan sampel dan Analisis laboratorium, Penyusunan verifikasi lapangan KLHK dan pengelolaan dan pengolahan lanjutan paska dibuatnya SSPLT (Surat Selesai Pemulihan Lahan Terkontaminasi).
LPPHI juga menanyakan apakah selama ini jumlah limbah TTM belum pernah dilakukan deliniasi oleh PT CPI dan apakah dari hasil audit lingkungan yang sudah pernah dilakukan Kementerian LHK, jumlah limbah TTM tidak berdasarkan hasil delianiasi? Sebab, dalam HoA antara CPI dengan SKK Migas disebut jumlah limbah TTM sekitar 6,1 juta metrik ton, dan atas dasar itulah kemudian CPI menyerahkan dana sebesar USD 265 sebagai kewajibannya berdasarkan split bagi hasil antara CPI dengan Negara ke escrow account SKKMigas.
LPPHI juga mempertanyakan, bukankah penyusunan RPFLH menjadi tanggung jawab PT PHR yang juga harus meminta persetujuan KLHK tentang pengunaan metode pemulihan limbah TTM? Dan bukankah setelah mendapat persetujuan RPFLH dari KLHK, baru kemudian PT PHR mengajukan persetujuan anggaran dari SKK Migas?
LPPHI juga menanyakan apakah benar informasi yang beredar adanya campur tangan oknum salah satu perusahan terhadap pembuatan RFI itu, oknum itu disebut berasal dari sebuah perusahan yang sejak awal akan ditunjuk sebagai pelaksana pemulihan limbah TTM ini? Direksi PHR juga tidak memberikan jawaban atas pertanyaan pertanyaan itu.
Dalam surat tersebut, LPPHI telah menyatakann bahwa jika pertanyaan informasi dan konfirmasi itu tidak dijawab pada batas waktu surat tersebut, maka LPPHI menganggap PT PHR membenarkan semua isi surat LPPHI tanggal 11 Maret 2022 dan surat tanggal 21 Maret 2021. **Rul/Rls