MP, PEKANBARU – Dewan Pengurus Provinsi (DPP) Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Republik Indonesia ( LPPNRI) Riau siap memantau Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Demikian dikatakan Ketua DPP LPPNRI Riau, Dedi Syahputra Sagala kepada wartawan, Minggu (7/2/2021). Bukti keseriusan itu dilakukan LPPNRI Riau dalam bentuk pengawasan program PSR di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (5/3/2021) lalu.
Menurut Dedi, dari data yang diterimanya yakni hasil Survei Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), para petani sawit masih kerap terjebak dengan keberadaan bibit sawit palsu. Ia menduga ini merupakan permainan oknum pengurus KUD, KT, Gapoktan untuk mencari keuntungan semata.
Ditambahkannya, sejumlah alasan yang mendasari, di antaranya 37 persen menjadi korban penipuan. Terus 14 persen tergiur harga murah. Lalu 20 persen tidak mengetahui cara membeli benih yang legal. Kunci sukses Program di antaranya adalah penggunaan bibit unggul. Jangan sampai gunakan bibit sawit palsu.
Karena, kata Dedi, sangat jelas sanksi bagi pengedar benih sawit palsu tanpa sertifikasi sesuai UU 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp250 juta. “Bagi petani peserta PSR, baik itu kelompok tani, Gapoktan, dan Koperasi Unit Desa wajib menggunakan bibit unggul bersertifikat dan pupuk sebagai gerbang utama keberhasilan PSR.
Apalagi di antaranya 37 persen menjadi korban penipuan. Terus 14 persen tergiur harga murah. Selanjutnya, 20 persen tidak mengetahui cara membeli benih yang legal. Di samping itu, 12 persen di antara petani terjebak penggunaan bibit palsu karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi; 10 persen tidak mengetahui lokasi pembelian benih legal, dan 4 persen petani menyatakan akibat jarak tempuh dari lahan sawit ke produsen benih legal yang cukup jauh.
Dedi menyatakan, bagi perusahaan atau secara perseorangan untuk bisa melaksanakan kegjatan di bidang perbenihan perkebunan. Harus memiliki SK terkait perizinan yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Pejabat yang telah diberi kewenangan oleh Gubernur, setelah memperoleh rekomendasi UPTD Pengawasan Benih.
Tanpa adanya Izin Usaha Produksi Benih (IUPB) atau setidaknya rekomendasi UPTD, maka bibit tidak dapat disertifikasi. Untuk mendapatkan IUPB ini wajib memiliki lahan, Tenaga Ahli dan menguasai atau memiliki benih sumber.
“Kalaulah ingin menangkar benih maka wajib memperoleh biji atau entres dari kebun sumber benih yang telah ditetapkan Dirjen Perkebunan atas nama Menteri Pertanian. Baik milik sendiri atau pihak lain. Tanpa kejelasan asal usul benih maka bibit yang disalurkan tidak dapat disertifikasi,” tukasnya.
Sehingga, imbuh Dedi lagi, setiap bibit yang disalurkan harus disertifikasi. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap mutu benih yang beredar bagi masyarakat petani sawit Mengedarkan benih tanpa sertifikasi merupakan tindakan bertentangan dengan hukum dan berpotensi mendapatkan sanksi pidana. *