Duet Varian Omicron-Delta jadi Kerisauan WHO

 

AMERIKA, Derakpost.com- Setakat ini, Organisasi Kesehatan Dunia yang juga dikenal istilah WHO mengkhawatirkan potensi tsunami kasus akibat ada duet Virus Corona varian Omicron dan varian Delta. Hal itu dinilai bisa pasti membuat fasilitas kesehatan kewalahan.

Hal itu dikatakan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan. Ia mengatakan varian Delta dan Omicron merupa ancaman kembar yang nanti bisa mendorong peningkatan angka kasus baru ke rekor tertinggi. Hal yang memicu lonjakanya rawat inap dan kematian.

WHO juga mengatakan kasus global baru telah meningkat 11 persen pekan lalu, sementara Amerika Serikat dan Prancis mencatat rekor jumlah kasus harian pada Rabu (29/12/21).

“Saya sangat prihatin bahwa Omicron, yang lebih menular, beredar pada saat yang sama dengan Delta, akan menyebabkan tsunami kasus,” kata Tedros, dalam konferensi pers, dikutip dari AFP.

Dia mengatakan hal ini akan memberi tekanan pada sistem kesehatan tidak hanya karena angka pasien baru, tetapi juga sejumlah besar tenaga kesehatan terjangkit Covid-19.

“Ini dan akan terus memberikan tekanan besar pada petugas kesehatan yang sudah kelelahan, dan sistem kesehatan di ambang kehancuran,” lanjutnya.

Tak ketinggalan, Tedros pun mengecam sikap sejumlah negara kaya yang diduga memonopoli vaksin Covid-19 dan alat kesehatan.

“Populisme, nasionalisme sempit, dan penimbunan alat kesehatan, termasuk masker, terapi, diagnostik, dan vaksin, oleh sejumlah kecil negara, megerogoti pemerataan, dan menciptakan kondisi ideal untuk munculnya varian baru,” tuturnya dilansir cnnindonesia.

WHO mulanya menargetkan 40 persen populasi di setiap negara divaksinasi penuh pada akhir tahun ini, dan 70 persen pada pertengahan 2022. Namun, kata Tedros, 92 dari 194 negara anggota WHO bakal meleset dari target 40 persen itu.

“Ini karena kombinasi pasokan terbatas ke negara-negara berpenghasilan rendah hampir sepanjang tahun dan kemudian vaksin berikutnya tiba hampir kedaluwarsa dan tanpa bagian-bagian penting seperti jarum suntik,” katanya.

“Ini bukan hanya soal rasa malu secara moral, hal itu juga merenggut nyawa dan memberi virus kesempatan untuk beredar tanpa terkendali dan bermutasi. Di tahun depan, saya menyerukan para pemimpin pemerintah dan industri untuk membicarakan kesetaraan vaksin,” cetus Tedros.

Pihaknya juga menyebut, kebijakan sejumlah negara dalam memangkas periode karantina wajib sebagai bentuk pertukaran antara mengendalikan pandemi dan menjaga ekonomi tetap berjalan.

Diketahui, Spanyol mempersingkat masa karantina untuk kasus positif Covid-19 dari 10 menjadi tujuh hari, setelah otoritas kesehatan AS mengurangi separuh waktu isolasi yang direkomendasikan untuk orang dengan infeksi tanpa gejala dari 10 menjadi lima hari.

“Jika orang mempersingkat masa karantina, akan ada sejumlah kecil kasus yang akan mengembangkan penyakit dan berpotensi menular, karena mereka telah dibebaskan lebih awal dari masa karantina,” kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan dalam konferensi pers.

“Jadi ini adalah pertukaran antara sains dengan menjadi sempurna dalam upaya Anda, tetapi kemudian memiliki gangguan minimal yang mungkin terhadap ekonomi dan masyarakat Anda, dan pemerintah sedang berjuang untuk menemukan keseimbangan itu,” urainya

Pedoman WHO tentang karantina adalah pasien bergejala 10 hari setelah timbulnya gejala, ditambah setidaknya tiga hari tambahan tanpa gejala; dan untuk kasus tanpa gejala, 10 hari setelah tes positif. (Der)

deltaVarianwho
Comments (0)
Add Comment