DERAKPOST.COM – Kejadian tewas atau meningal Tenaga Kerja (Naker) di lokasi lingkunganya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Aktivis di Provinsi Riau ini angkat bicara, menyorot peristiwa tersebut.
Yakni dari halnya Aktivis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) di wilayah Riau menyorot halnya peristiwa meninggalnya sejumlah Naker di lokasi
lingkungan kerja PT PHR.
Dikutip dari Liputanoke.com. Dikatakan Rinaldi Sutan Sati, yakni tewas sejumlah Naker itu diduga masuk dalam kategori kecelakan kerja ini harus dibuka secara transparan kepada publik.
Menurutnya, persoalan ini menyangkut nyawa dan keselamatan pekerja. Maka, in kedepannya. “Ini seharusnya menjadi persoalan serius,” terang Rinaldi, dikutip dari liputanoke.com.
Rinaldi menyampaikan, maka perlunya dilakukan investigasi terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) diterapkan sebelum pekerja masuk pada kawasan. Apalagi, menurutnya hal ini kerja terkait Minyak Bumi dan Gas.
“Harus diaudit investigatif SOP. Apakah benar berjalan atau belum. Karena SOP itu nanti yang bisa menentukan apakah orang sakit dipaksa bekerja atau orang sakit diloloskan bekerja,’ katanya.
Artinya jika itu benar demikian, tentunya perusahaan tidak tahu pekerjanya sakit lalu kemudian bekerja. Maka, SOP tidak jalan,” terangnya kepada wartawan,
Berangkat dari SOP, jelasnya, kemudian bisa ditentukan masalahnya apa saja. Ia melanjutkan, jikalau pekerja tiba-tiba itu dapat serangan jantung, maka harusnya ada riwayat kesehatannya dan aneh jika tidak terdeteksi.
“Bukan berdebat tanpa data, tapi diaudit dulu. SOP berjalan tidak? Jangan-jangan kongkalikong semua yang ingin kecilkan pengeluaran terhadap buruh, yang tidak efektif pun tetap dipaksakan bekerja. Ini yang harus diselidiki,” katanya.
Sebutnya, dilihat juga angka dibayarkan kontraktor ke buruh itu memang sesuai dengan yang diajukan PHR apa tidak. Ini menurut Rinaldi, yang terjadi itu dengan pekerja sub kontraktor PHR merupakan pola bagaimana bentuk penindasannya terhadap buruh.
“Jadi mau tak mau mereka harus kerja. Kami curigai jangan-jangan ada mafia buruh murah di sini. Maka, SOP tentang kesehatan buruh sebelum bekerja ada tidak? Kalau ada dijalankan tidak? Kalau misalnya dijalankan kenapa terjadi,” ujar Rinaldi
Lebih lanjut dikatakan dia, jikalau tidak dijalankan berarti adanya indikasi antara kontraktor atau subkontraktor itu untuk mengambil selisih nominal dari hal yang seharusnya diterima buruh. Karena itu, semuanya bisa diinvestigasi.
“Jadi mau sakit bawaan, sakit ini-itu semuanya lolos. Karena semua orang butuh kerja, makanya itu jadi yang sakit disembunyikan karena juga butuh uang. Berapa pun gaji, tentu diterimanya dari subkontraktor tak dipersoalkan karena memang butuh uang,” katanya.
Berangkat dari situ, Rinaldi meminta PHR bersikap jujur, yaitu terlebih dahulu buka-bukaan data. Artinya itu, imbuhnya ketika tender dibuka, tentu kebutuhan pekerjanya harus dipetakan jangka umurnya.
“Karena ada penekanan budgeting di situ, mau yang umurnya di atas 50 tahun pun akhirnya diterima juga. Karena dia bisa tekan biayanya, bisa hemat. Belum di cek lagi satu pekerja mengerjakan beberapa pekerjaan. Migas ini bukan pekerjaan ringan, ini harus diperhatikan,” terang dia.
Ia pun meminta tim investigasi dari Disnakertrans agar mengurutkan akar persoalan dahulu dengan merujuk ke kontrak pekerja. Kemudian, terangnya, perlu dilihat apa saja pekerjaan yang diberikan kontraktor beserta syaratnya.
“Jangan tiba-tiba ada rekomendasi, balik ke pangkal dulu. Ketika ada ketidaktaatan terhadap mekanisme itu harusnya kena sanksi. Dan PHR harusnya kena sanksi dan berani buka-bukaan,” tegas Rinaldi.
Diketahui sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Imron Rosyadi, mengaku meminta PHR melakukan medical check-up tiap enam bulan dan saat ini, katanya, sedang dijalankan.
“Kemudian PHR bersedia melakukan medical check-up bagi pekerja mulai usia 35 tahun. Terus yang umur 56 keatas jumlahnya ada 1500- an orang, ini kalau dipensiunkan semua bisa ribut. Makanya dicek, kalau sehat silahkan kerja dan kalau tak sehat diberhentikan mengingat resiko tinggi di lapangan,” terang Imron.
Sejumlah legislator DPRD Riau juga turut bersuara atas meninggalnya sejumlah naker dilingkungan kerja PT PHR. Mereka bahkan minta PT. PHR diaudit secara menyeluruh. **Rul