DERAKPOST.COM – Empat kilang Sagu yang telah lama beroperasi di Selat Asam, Desa Mekar Sari, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti diduga dengan sengaja membuang limbah ke laut.
Pantauan di lapangan, jenis limbah yang paling jelas terlihat dibuang ke laut (Selat Asam) adalah jenis ampas (dalam keseharian masyarakat Meranti menyebutnya repu). Ampas tersebut kemudian hanyut oleh air pasang dan hanya akan terlihat jelas ketika air laut dalam kondisi surut.
Anehnya, tindakan merusak lingkungan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut tidak pernah ditindak secara serius oleh instansi terkait. Pembuangan limbah sagu, baik berupa limbah cair maupun ampas terus saja dilakukan oleh pemilik kilang, tanpa memikirkan kondisi lingkungan sekitar.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti, Syaiful dijumpai di kantornya, juga mengeluhkan hal itu. Menurut dia selain anggaran yang tidak diberikan, instansi yang dipimpinnya itu juga tidak memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan pembinaan terhadap pemilik kilang sagu yang gemar membuang limbah ke laut. Paling mendasar lagi, ternyata di dalam peraturan bupati (perbup) Meranti juga tidak ada fungsi pengawasan yang semestinya dilakukan oleh perkara.
“Lingkungan hidup di Meranti ini terlanjur di kerdilkan. Kami mau melakukan pembinaan, tapi kami tidak dapat anggaran untuk itu. Dan di perbup fungsi pengawasan juga tidak ada. Jadi, kami hanya bisa berkoordinasi saja dengan provinsi” ucap Syaiful.
Dia juga mengaku khawatir tentang indeks kualitas air di Meranti yang berada di angka 50-an. Kondis jelek tersebut tentunya disebabkan COD dan BOD dari limbah cair yg dilepas ke lingkungan melampaui batas aman
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan limbah yang terkandung dalam air, sedangkan BOD (Biologycal Oxygen Demand) adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa – senyawa kimia. Jika kondisinya sudah begitu, maka langkah yang seharusnya dilakukan adalah dengan memberikan pembinaan secara berkelanjutan.
Dalam mengawasi limbah sagu, Syaiful mengaku bahwa pihaknya sudah pula melaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau. Bahkan Tim DLHK Provinsi sudah turun ke lokasi bersama petugas laboratorium Dinas Pekerjaan Umum, Penata Ruang, Perumahan, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Provinsi Riau pada 1-3 Agustus 2023.
Dari pengecekan tersebut ada beberapa data industri kilang sagu yang mereka minta untuk segera dilengkapi mulai dari indentifikasi klasifikasi skala industri dan skala usaha dan skala dokumen lingkungan (Amdal, UKL-UPL, SPPL) dan sejumlah data lain yang diperlukan. Data-data tersebut sangat berguna untuk memastikan tindak lanjut perizinan dari pelaku usaha sesuai dengan peraturan pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis reaiko.
“Kami sudah minta DPLH semester 1 Tahun 2023, seharusnya mereka wajib menyampaikan laporannya pada Juli 2023, tapi tak kunjung dilaporkan, hanya ada satu kilang Pak Amir di Lalang Tanjung yang menyampaikan DPLH ke kita,” ucap Syaiful.
Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL. Jika tidak dilaporkan berarti ada pelanggaran dalam usaha tersebut.
Sayangnya, hingga berita ini diterbitkan, empat pemilik kilang sagu itu belum bisa dihubungi. Mereka adalah Laiheng yang sekarang kilangnya dikelola oleh adiknya, Akun. Begitu juga dengan Tengho yang dari informasi telah menyerahkan pengelolaan kilang kepada anaknya A Yam, termasuk dua pemilik kilang lagi yakni, Awi dan Aguan, sehingga belum diketahui apa alasan mereka dengan sengaja membuang limbah ke laut. (Tan)