DERAKPOST.COM – Dalam satu bulan terakhir, dunia yang disibukkan dengan antisipasi dampak elnino, termasuk itu aktivitas bagi petani sawit di Indonesia. Bahkan ada analis ekonomi dunia yang mengatakan bahwasa, dampak elnino terjadinya kerawanan pangan dikarena tanaman pangan banyak gagal panen.
Oleh karena itu Informasi tentang ikilim ataupun musim merupakan kebutuhan pokok petani dalam hal merencanakan aktivitas agronomisnya. Informasi yang dirilis ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada tanggal 25 April 2023 lalu adalah menjadi informasi yang penting bagi pelaku usaha tani di Indonesia.
Berdasarkan data catatan BMKG, suhu rata-rata itu berada pada 34-36 derajat celcius. Untuk musim kering ini, BMKG memperkira bahwasa bulan-bulan yang mealami puncak atau suhu maksimum yakni di bulan April sampai Juni, bahkan beberapa sumber mengatakan sampai bulan Agustus tahun ini.
Kondisi ekstrem seperti ini, tentu telah mewanti-wanti petani, termasuk petani sawit yang karena akan mempengaruhi aktivitas agronomis, pasca panen serta produktivitas, baik itu tanaman pangan, hortikultura dan bahkan beberapa jenis tanaman perkebunan.
Menanggapi informasi urgen dari BMKG itu, Ketua Umum (Ketum) DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr Gulat ME Manurung mengatakan, naiknya suhu seperti saat ini tidak berdampak secara langsung kepada tanaman kelapa sawit. Tidak akan berdampak langsungnya suhu tersebut karena tanaman kelapa sawit merupakan tanaman kelompok Fisiologis C4 mempunyai kemampuan daya adaptasi (toleran) pada lingkungan panas dan suasana kering.
Diketahui juga bahwa tanaman C4 adalah tanaman yang membutuhkan intesitas cahaya matahari langsung dengan suhu terbaik antara 24-28 derajat Celsius. “Secara teori pada tanaman C4 bahwa semakin naik intensitas sinar matahari dan suhu maka akan meningkat pula serapan CO2 untuk proses fisiologis dari laju fotosintesis yang lebih efektif, dan alasan inilah saya katakan supaya petani sawit jangan terlampau kuatir,” cakap Gulat.
Dalam rilisnya. Gulat juga menjelaskan bahwa suhu rata-rata yang dilaporkan oleh BMKG, 34-36 derajat Celsius, secara teori masih dapat ditolelir oleh kelapa sawit, namun perlu dilakukan antisipasi agronomis. Antisipasi itu ujar Gulat, adalah mencakup tiga hal ini. Pertama supaya jangan dulu memupuk, kedua menghindari pemakaian herbisida untuk pengendalian gulma, dan ketiga mengurangi aktivitas pembuangan pelepah (pruning) pada bulan-bulan cuaca ekstrem seperti saat ini.
“Range suhu ekstrim 34-36 derajat celsius untuk tanaman hortikultura dan tanaman pangan mungkin sudah berada pada titik berbahaya dan bahkan mematikan tanaman baik secara morfologis ataupun secara fisiologis, tapi untuk tanaman kelapa sawit range tersebut masih bisa ditolelir. Jadi warning utamanya untuk tanaman sawit adalah tindakan agronomis oleh petani itu sendiri bukan tanamannya yang kita kuatirkan,” kata Gulat Manurung.
Dalam konsep pemupukan dikenal “Konsep 5T” yaitu tepat dosis, tepat waktu, tepat kualitas, tepat cara dan tepat jenis. Kaitannya, dengan kondisi ekstrim saat ini adalah terkait ke “tepat waktu”.
Memupuk di waktu cuaca panas justru berisiko tinggi terhadap tanaman, karena panas akibat reaksi pupuk tidak dapat diimbangi oleh kelembapan tanah dan hal ini akan merusak morfologi akar secara permanen. Jadi pupuk yang diberikan ke tanah hanya bisa bereaksi dan diserap oleh akar jika kandungan air tanah di area top soil dalam kondisi lembab (tersedia). Jika tidak dalam kondisi ini, maka pemupukan akan mubajir dan justru membahayakan morfologis tanaman (akar sawit), terutama akar sawit biasanya berada di permukaan tanah.
“Lebih disarankan untuk penggunaan pupuk organik karena pupuk organik akan membantu melembabkan (biologis) lapisan top soil tanah,” kata dia.
Demikian juga dengan pruning, sebaiknya ditunda karena sekalipun pelepah sudah tidak produktif, namun masih berfungsi “meneduhkan” iklim mikro sekitar tanaman.
Untuk pengendalian gulma secara kimia sebaiknya juga ditunda karena dengan menyemprotkan herbisida akan mengakibatkan hilangnya penutup tanah alami dan panas matahari akan langsung mengenai permukaan tanah. Tentu hal ini akan meningkatkan pelepasan air secara bersamaan atau evapotranspirasi (pelepasan atau penguapan air secara bersamaan dari tanah dan jaringan tanaman).
Dua dari tiga aktivitas agronomis yang ditunda ini sangat berhubungan erat dengan kebakaran lahan, yaitu pengendalian gulma secara kimia dan pruning. Karena ouput dari kedua ini adalah bahan yang sangat mudah terbakar dan bisa menjadi pemicu kebakaran lahan dan hutan, baik di lahan Podsolik maupun di tanah gambut atau jenis tanah lainnya.
“Tidak ada pilihan selain hentikan ketiga aktifitas agronomis tadi jika tidak ingin semakin merugi akibat pupuk tidak efisien serta dampak fisiologis perakaran akibat panas sebagai reaksi pupuk. Dan hentikan pengendalian gulma secara kimia dan pruning untuk mengurangi potensi semakin panasnya iklim mikro dan antisipasi karhutla tentunya,” jelasnya.
Terkait iklim ekstrem dan kebakaran lahan, potensi kebakaran lahan ini dua kali lebih berpotensi di lahan gambut, karena gambut yang kering akan sangat sensitif dengan percikan api dan aktivitas manusia di sekitar perkebunan untuk melakukan kegiatan agronomis juga akan menambah peluang terjadinya kebakaran lahan secara tidak sengaja.
“Untuk itu Saya menyarankan kontrol kebun di lahan gambut supaya lebih serius pada musim atau cuaca ekstrem seperti pada saat ini,” kata dia.
Saat ini aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar sudah sangat jauh berkurang bahkan sangat kecil kemungkinan dilakukan, hal ini tidak terlepas dari tindakan tegas aparat hukum dan ditegakkannya hukuman pidana serta denda berlipat-ganda.
Namun tercatat di beberapa kejadian Karhutla, bahwa saat ini karhutla justru lebih sering terjadi akibat dari “unsur ketidaksengajaan”, seperti puntung rokok, aktivitas non-agronomis atau peristiwa alam lainnya.
“Jadi selain stop tiga aktifitas agronomis tadi, juga sangat diperlukan antisipasi dari internal pekebun sendiri, baik dengan memasang pengumuman atau patroli terjadwal. Dan untuk hal komunikasi, kami menyarankan supaya Petani sawit melalui kelembagaannya, mencatat nomor HP dari Polsek, Babinsa, BPBD dan Satgas Karhutla setempat,” kata Doktor Agro – Ekologi ini. **Rul