KTT Afrika: Israel Negara Apartheid

 

DERAKPOST.COM – Dukungan dunia terhadap perjuangan Palestina memperoleh kemerdekaan semakin luas dan menguat. Makin banyak negara yang secara terbuka mengecam penjajahan yang dilakukan Israel.

Kongres Nasional Afrika mengatakan, mereka tetap mempertahankan pandangan bahwa Israel merupakan negara apartheid. Hal itu disampaikan sehari setelah delegasi Israel diusir dalam pertemuan KTT Uni Afrika yang digelar di Ethiopia.

“Pandangan yang dinyatakan Kongres Nasional Afrika tentang apartheid Israel tetap relevan hingga hari ini. Laporan independen Amnesty International dan Human Rights Watch dengan tegas mendefinisikan karakter Israel sebagai negara apartheid,” kata Kongres Nasional Afrika dalam sebuah pernyataan, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, kemarin.

Mereka pun mengomentari tentang posisi Israel yang hendak menjadi pengamat di Uni Afrika. “Alih-alih menunggu hasil musyawarah tentang kemungkinan status pengamat mereka, Israel hanya memilih untuk melemahkan 55 negara anggota Uni Afrika,” kata Kongres Nasional Afrika.

Kongres Nasional Afrika kemudian menegaskan, hanya solusi dua negara yang disepakati dapat mengakhiri konflik Israel-Palestina. “Semua negara cinta damai yang berakar pada dunia yang didasarkan pada kehidupan lebih baik untuk semua harus konsisten dalam seruan mereka kepada apartheid Israel untuk menghormati kehidupan manusia serta perjanjian masa lalu tentang bagaimana mengakhiri konflik Palestina-Israel,” ujar mereka.

Pada Sabtu (18/2), seorang diplomat senior Israel diusir dari KTT Uni Afrika yang digelar di Ethiopia. Pengusiran terjadi karena perselisihan terkait akreditasi Israel ke Uni Afrika meningkat. Israel pun mengkritik keras peristiwa tersebut.

“Israel memandang tajam insiden di mana wakil direktur untuk Afrika, Duta Besar Sharon Bar-Li, dikeluarkan dari aula Uni Afrika meskipun statusnya sebagai pengamat terakreditasi dengan izin masuk,” kata Kementerian Luar Negeri Israel.

Tel Aviv menyalahkan Aljazair dan Afrika Selatan atas peristiwa pengusiran diplomatnya dari KTT Uni Afrika. Menurut dia, pengusiran tersebut dilakukan dengan dorongan “kebencian”.

Pada Juli 2021, Kementerian Luar Negeri Israel mengumumkan bahwa duta besarnya untuk Ethiopia, Admasu Al-Ali, telah menyerahkan kredensialnya sebagai anggota pengamat ke Uni Afrika. Kredensialnya diterima secara sepihak Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat

Beberapa negara anggota, khususnya Aljazair dan Afrika Selatan, memprotes keputusan Mahamat. Mereka merasa belum diajak berkonsultasi tentang langkah tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan Radio France International dan saluran satelit France 24 menjelang KTT Uni Afrika 2022 di Addis Ababa, Menteri Luar Negeri Aljazair Ramtane Lamamra mengecam keputusan Uni Afrika memberikan Israel status pengamat.

Lamamra menilai, Uni Afrika melakukan kesalahan ganda. “Ini buruk bagi organisasi dan dapat membahayakan solidaritas yang harus ada di antara negara-negara anggota,” ujarnya.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International sebelumnya menuduh Israel menundukkan warga Palestina ke sistem apartheid yang dibangun berdasarkan kebijakan pemisahan, perampasan, dan pengucilan. Hal itu disebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam laporan setebal 211 halaman yang dirilis pada Selasa (1/2), Amnesty International menyebut temuannya didasarkan pada penelitian dan analisis hukum. Kasus-kasus yang dikaji antara lain penyitaan tanah dan properti warga Palestina oleh Israel, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, serta penolakan kewarganegaraan.

Amnesty International mengatakan, tindakan-tindakan Israel tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan sistem penindasan dan dominasi. Di sisi lain, hal tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari apartheid. “Kesimpulan kami mungkin mengejutkan dan mengganggu dan memang seharusnya begitu,” ujar Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard dalam konferensi pers di Yerusalem.

Dia mengatakan, beberapa pejabat di pemerintahan Israel mungkin akan menuding Amnesty International antisemit atau berusaha mengacaukan negara tersebut. Namun, Callamard menegaskan bahwa tuduhan semacam itu tidak berdasar.

Satu cara efektif yang dilakukan Pemerintah Israel dalam menjalankan segregasi dan opresi adalah melalui sistem kartu penduduk. Orang Yahudi cukup punya satu kartu yang bisa menjamin mereka bisa tinggal di wilayah manapun yang mereka mau, untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan aneka layanan premium lain yang berlimpah.

Dikutip dari reoublika.co.id. Sementara warga Palestina punya empat jenis bergantung wilayah tempat tinggal. Jenis kartu akan membedakan hak yang bisa dilakukan, wilayah yang bisa dikunjungi, dan tindakan yang bisa dilakukan.

Pemegang kartu hijau berarti terikat mutlak dengan aturan militer. Pemegang kartu hijau dengan alamat Gaza, jumlah mereka sekitar dua juta orang, terperangkap di sebuah “penjara terbuka” seluas 365 kilometer persegi.

Mereka hidup dalam blokade total tentara Israel, yang mengontrol ketat semua aliran keluar masuk kawasan, termasuk mainan anak-anak dan pasokan obat. Situasi ini dimulai sejak 2007. Sekitar 90 persen warga Gaza tak punya akses air bersih, 47 persen pengangguran, dan 56 persen hidup miskin.

Pemegang kartu hijau Gaza juga tak boleh ke Yerusalem atau Tepi Barat meski ada keluarga mereka di sana. Sebaliknya, jika ada warga Tepi Barat yang menurut Israel adalah penduduk ilegal meski sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan itu, mereka bisa dipaksa pindah ke Gaza.

Lalu, ada pemegang kartu hijau dengan alamat Tepi Barat yang berjumlah sekitar tiga juta jiwa. Mereka tinggal di kantong-kantong permukiman yang sudah ditentukan (legal), dikelilingi kawasan hunian Israel yang mewah dan sebenarnya justru ilegal. Di antara kedua permukiman itulah dibangun Tembok Apartheid Israel dengan tinggi 8 meter dan panjang 700 km yang sudah disebutkan sebelumnya. **Rul

AfrikaIsraelKTT
Comments (0)
Add Comment