Patah Tumbuh Hilang Berganti Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat

 

SENGKETA tanah ulayat yang terjadi di negara Republik Indonesia, antara Masyarakat adat dan para pengusaha serta masyarakat adat dan pemerintah adalah merupakan permasalahan tak kunjung usai. Diketahui rakyat Indonesia terdiri dari 300 kelompok etnik atau, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa di tanah air.

Menurut sensus BPS tahun 2010, yang tersebar di seluruh negara Republik Indonesia. Beranjak dari hal tersebut maka para pendiri Negara Repulik Indonesia dalam menciptakan peraturan perundang undangan dalam hal yang mengatur tentang hak adat/ulayat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 B UUD 1945 , berbunyi “ Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai degan perkembangan Masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 281 Ayat (3) UUD 1945, menyatakan “Indentitas budaya dan hak Masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, serta Pasal 3 UUPA No.5 / 1960 berbunyi “Pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari Masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”

Penjabaran kata “ sepanjang masih hidup “ dalam Pasal 18 B UUD 1945 tidak terdapat penjelasan secara kongkrit, sehingga dalam penafsirannya bersifat universal, hal ini dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda, dari setiap ahli hukum maupun masyarakat awam, seharusnya kata “sepanjang masih hidup” dalam Pasal tersebut harus secara jelas menerangkan dan menjabarkan batasan-batasan pengertian sepanjang masih hidup.

Selaras dengan Pasal 18 B UUD 1945, Pasal 3 UUPA No.5/1960 yang merupakan Undang-Undang turunan dari Undang-Undang Dasar mengadopsi kata“ sepanjang masih hidup” yang dirubah dengan kata “ sepanjang menurut kenyataannya masih ada” seharusnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dapat menjabarkan dengan penjelasan secara komperehenship, makna dari kata “ sepanjang masih hidup” yang terdapat dalam Pasl 18 B UUD 1945, sebagai tolok ukur dalam pelaksanaan serta fungsinya sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.

Ketika menelaah dan memaknai pasal-pasal tersebut di atas , justru pasal demi pasal yang mengatur tentang hak ulayat tersebut , menimbulkan pengertian yang bersifat multi tafsir serta hal inilah , yang menjadi salah satu sumber konflik antara masyarakat hukum adat dengan para pengusaha dan penguasa/pemerintah baik pusat maupun daerah, mengapa dikatakan menjadi salah satu sumber konflik ? hal tersebut dapat terjawab dengan pemaknaan yang terkandung dalam bunyi pasal-pasal yang mengatur tentang hukum adat dan hak ulayat, dapat ditafsirkan para pihak yang mempunyai kepentingan.

Sehingga berdasarkan kepentingan tersebut berakibat hak-hak ulayat dapat di kangkangi dan diabaikan oleh para pengusaha maupun penguasa dengan dalil untuk Pembangunan ekonomi negara maupun Pembangunan lainnya. Terjadinya konflik tiap daerah hampir bisa dikatakan terjadi antara Masyarakat adat dan pengusaha dengan pola-pola yang sama, permasalahan hukum /konflik terjadi akibat tidak terdapatnya aturan baku yang secara ekplisit mengatur tentang hak-hak Masyarakat adat terhadap hak ulayatnya, sehingga dapat ditafsirkan menurut kepentingan.

Berdasarkan fakta dan kejadian-kejadian timbulnya perkara dalam Masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari lemahnya kedudukan hukum hak Masyarakat adat terhadap hak ulayatnya, yang tidak secara tegas diatur dalam UUD 1945 maupun UUPA No.5/1960, hal ini menimbulkan persepsi terjadinya diskriminasi terhadap Perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap Masyarakat adat.

Keberpihakan Pemerintah, baik pusat maupun daerah yang dengan mudahnya memberikan hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap tanah-tanah hak ulayat suatu Masyarakat hukum adat kepada para pengusaha bermodal besar, merupakan akar permasalahan timbulnya gejolak diatas tanah-tanah ulayat Masyarakat hukum adat , menyikapi hal tersebut.

Perubahan/Amandemen UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 serta Revisi terhadap UUPA No.5/1960 tentang Penjelasan Pasal 3, sudah seharusnya dan merupa kebutuhan yang mendasar untuk segera dilakukan oleh badan Legislatif dan Pemerintah Republik Indonesia agar terdapat penjelasan secara konkrit yang tidak mengandung pengertian multi tafsir.
Terhadap Perubahan/Revisi UUPA No.5/1960, oleh para ahli hukum telah diusulkan dalam Konsorsium Pembaruan Agraria ( KPA ).

Namun sangat disayangkan hingga detik ini , usulan dan konsep yang di sampaikan oleh para ahli hukum dalam Konsorsium Pembaruan Agraria ( KPA ) tersebut tidak ditindak lanjuti secara serius oleh Badan Legislatif dan Pemerintah.

Hal ini mengisyaratkan tidak adanya keseriusan baik oleh Badan Legis Lative sebagai badan yang mempunyai kewenangan, maupun Pemerintah Republik Indonesia, dalam melakukan perubahan maupun revisi terhadap UUPA No.5 /1960, dengan demikian persoalan sengketa atau polemik yang terjadi tiap daerah wilayah Negara Republik Indonesia tidak akan pernah berakhir, akibat tidak terdapatnya perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi Masyarakat hukum adat atas hak ulayatnya. Terima kasih

Penulis:

Jhon Piter Marpaung

Senior Advokates JRM & Associates

hilangtanahtumbuhulayat
Comments (0)
Add Comment