SUATU saat kelak, bila bangsa Indonesia ingin mendalami Pancasila, mereka harus studi banding ke Amerika Serikat. Sindiran itu tak ada hubungannya sama sekali ketika pada momentum peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2023 tahun ini beberapa orang anggota DPRD Provinsi Riau studi banding ke Amerika Serikat. Kebetulan saja bersamaan waktunya, dan pasti bukan studi tentang Pancasila.
Alkisah sekitar 12 tahun lampau, ada dua peristiwa menarik di Tanah Air, keduanya berkaitan dengan Pancasila. Peristiwa pertama, pada 10 November 2010, Presiden AS Barack Obama menyampaikan pidato di kampus Universitas Indonesia, Depok. Obama menyebut, “Saat saya belajar di Indonesia, saya banyak didoktrin tentang Pancasila. Dan saat ini demokrasi sebagai makna dari Pancasila sudah berjalan baik di Indonesia,” kata Presiden Obama dalam pidatonya (10/11/2010), seperti dikutip berbagai media.
Presiden Amerika Serikat ini menguraikan secara menarik Pancasila dalam perspektif Amerika Serikat. Bahwa semangat toleransi, persatuan dalam keragaman, pulau-pulau yang menyembul indah dari samudera dihuni, oleh orang-orang yang bebas memilih Tuhan yang ingin mereka sembah. Islam berkembang, demikian pula ajaran lain, urai Obama.
Ketika itu ada pengamat yang menyindir, bila Presiden Obama memiliki pemahaman yang baik tentang Pancasila, apalagi kemudian dalam sebuah pidato di Amerika, Presiden Obama berani menyebut nilai kebersamaan (kolektivitas) Pancasila lebih baik dari sifat individualistik bangsa Amerika, boleh jadi suatu saat kelak kita harus belajar Pancasila dari Amerika.
Peristiwa kedua, beberapa bulan kemudian, tepatnya 1 Juni 2011, ada sebuah pawai alegoris yang tak biasa. Ini baru pertama kali terjadi sejak Indonesia merdeka. Yang “berpawai” tak tanggung-tanggung, Presiden ke-3 RI Prof BJ Habibie, Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Andai Presiden pertama Ir Soekarno, Presiden ke-2 Soeharto dan Presiden ke-4 Gus Dur masih ada, agaknya mereka pun akan ikut berorasi. Peristiwa ini tercatat dengan tinta emas. Tiga Presiden RI pada masanya, menyampaikan orasi tentang makna yang terkandung dalam peringatan hari lahir Pancasila.
Masalahnya, perilaku komunal bangsa kita dewasa ini, seakan kita tak pernah memiliki falsafah bangsa, seakan tak pernah memiliki pandangan hidup bangsa. Masyarakat kita tumbuh dan berkembang menjadi sebuah masyarakat yang anomi, masyarakat aneh seperti disebut sosiolog Prancis Emille Durkheim, yaitu masyarakat yang ditandai dengan pandangan sinis terhadap norma. Terjadi disorganisasi hubungan antar manusia.
Apatah lagi dewasa ini, kebebasan media yang sangat bebas dalam demokrasi liberal, kita kehilangan sesuatu yang bisa menjadi perekat kemajemukan. Akibatnya, perbedaan sering dipertentangkan secara berlebihan. Pengendalian diri, rasa saling hormat menghormati, yang dulu didoktrinkan melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sekarang dianggap jadul, nggak gaul.
Dimanakah Pancasila kini berada?” Prof Habibie mengawali orasinya yang berapi-api dengan pertanyaan yang menyentak. “Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.” Ucap Habibie. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, apalagi diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Prof Habibie agaknya tidak berlebihan. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat sangat mendesak, apalagi di tengah berkembangnya budaya milenial, dengan preferensinya yang sulit dibaca. Kita tentu tidak ingin bangsa kita kehilangan nilai-nilai luhur bangsanya yang dirumuskan dalam Pancasila seperti disebut Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945.
Sejarah mencatat, Orde Lama di bawah Presiden Soekarno runtuh, Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tumbang, karena kedua rezim tidak setia seutuhnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pada awalnya ada tekad terpuji, tapi kemudian salah langkah akibat godaan kekuasaan.
Kini rezim reformasi sedang berada di panggung, tekad bulat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 saja tak cukup tanpa diikuti dengan langkah-langkah pelestarian nilai-nilai luhur bangsa itu secara aktual dan tepat. Konten aktualisasi nilai-nilai Pancasila sangat mendesak dibuat gaul. Bagaimana caranya? Duduklah bersama dalam semangat kolaborasi, dengan catatan harus saling menghormati, saling menghargai, saling percaya satu sama lain. Kita lebih paham soal Pancasila ketimbang Amerika. Tabik.**Rul