DERAKPOST.COM –Diketahui, bahwa haldari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merupakan organisasi wartawan tertua dan paling berpengaruh di Indonesia. Yakni pada sepanjang sejarahnya, PWI pernah mengalami konflik internal mengancam persatuan organisasi.
Konfliknya serupa tapi tak sama dengan konflik yang kerap melanda Partai Politik (Parpol). Dari salah satu buah dari refleksi tersebut, ternyata dualisme kepemimpinan di tubuh PWI bukan yang pertama terjadi.
Sebelum dualisme kepengurusan PWI saat ini (Zulmansyah Sekedang dan Hendry Ch Bangun) pada tahun 1970 juga pernah terjadi dualisme kepengurusan PWI Pusat yang terjadi pasca Kongres PWI 1970 yang berlangsung di Palembang. Dijamin tidak semua wartawan atau anggota PWI tahu tentang sejarah konflik dan dualisme ini.
Apa, dualisme menimbulkan perpecahan dalam organisasi PWI? Di satu sisi ada mengatakan terjadi perpecahan, di sisi yang lain sampai pelaksanaan HPN 2025, perpecahan tersebut tidak meluas sampai ke kepengurusan PWI di tingkat provinsi, walau ada pengurus PWI beberapa provinsi yang dipecat. Justru yang terjadi di bawah adalah kebingungan para anggota PWI, mereka harus mengikuti kepengurusan PWI yang mana? Banyak dari mereka bersikap tidak mendukung pada salah satu kepengurusan, mereka memilih menunggu dualisme atau konflik ini menemukan solusinya.
Konflik internal PWI pertama kali terjadi Kongres ke-XIV PWI di Palembang tahun 1970. Mengutip Citriana Deferentian Wahyu Hidayanti dalam âKonflik Kepentingan dalam Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tahun 1970-1971â (2015), dalam kongres terdapat dua golongan yang berbeda sehingga menghasilkan dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan dalam PWI Pusat. Fenomena dualisme kepemimpinan ini menimbulkan dampak yang sangat besar, baik ke dalam internal organisasi PWI, terhadap pers, maupun masyarakat luas.
Menurut Citriana, bahwa terjadinya konflik kepentingan pada organisasi PWI tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial-politik dan perkembangan pers nasional pada masa awal Orde Baru. Kebebasan pers yang tinggi membuat pemerintah ingin mengendalikannya. PWI sebagai induk organisasi wartawan menjadi sasaran utama pemerintah untuk dapat menguasai pers nasional dengan cara mengintervensi Kongres PWI ke-XIV di Palembang tahun 1970.
Dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan dalam PWI Pusat pada masa itu menimbulkan dampak yang sangat besar, baik ke dalam internal organisasi PWI, terhadap pers, maupun masyarakat luas.
Cerita konflik yang terjadi pada Kongres PWI di Palembang tersebut bisa dibaca dalam buku karya IN Soebagijo berjudul
Jagat Wartawan Indonesia (1981), buku Rosihan Anwar berjudul Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi (1983) dan buku yang ditulis Toeti Kakiailatu berjudul BM Diah: Wartawan Serba Bisa (1997).
Setelah dualisme kepemimpinan PWI berlangsung selama tiga tahun, pada bulan Desember 1973, Pengurus Pusat (PP) PWI mengadakan Kongres XV Tretes, Jawa Timur. Kongres ini mengakhiri dualisme yang terjadi antara PWI BM. Diah dan PWI Rosihan Anwar. Kongres juga membahas mengenai penetapan program kerja serta beberapa perubahan dalam pelaksanaan organisasi PWI, seperti penertiban Kartu Anggota PWI dan Kartu Pers.
PWI mulai mengadakan pendidikan kewartawanan melalui Karya Latihan Wartawan (KLW), serta melakukan perubahan masa bakti kepengurusan tingkat pusat dan cabang serta perwakilan. Pada tingkat cabang dan perwakilan di seluruh Indonesia, kepengurusan dilakukan dari dua tahun menjadi empat tahun sekali.
Seperti tertuang dalam kesimpulan Citriana Deferentian Wahyu Hidayanti, kepada mereka yang berkonflik atau terlibat pada dualisme kepemimpinan PWI Pusat dan para pendukungnya, camkan bahwa PWI merupakan organisasi PWI memiliki peran penting dalam perkembangan pers nasional. Oleh karena itu, adanya konflik kepentingan dalam PWI menimbulkan dampak yang sangat luas.
Dengan tercapainya rekonsiliasi atau integrasi dalam tubuh PWI menunjukkan bahwa meskipun terdapat dualisme dengan kepengurusan yang berbeda pendapat dalam satu organisasi, maka kesampingkan perbedaan itu dengan mengedepankan komitmen profesi sebagai seorang wartawan atau jurnalis.
Akankah penyelesaian dualisme kepengurusan PWI Pusat akan berlarut, atau butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya seperti yang terjadi pada konflik kepengurusan PWI hasil Kongres XIV di Palembang?
Apa yang terjadi pada dualisme PWI saat ini menurut Dahlan Iskan, yang jelas ini bukan perpecahan akibat aliran ideologi pers seperti di zaman BM Diah vs Rosihan Anwar di masa lalu. Juga bukan akibat perbedaan sikap mau kritis atau mau pro pemerintah. Ini perpecahan seperti piring pecah karena ada yang rebutan piring di atas meja. (maspril aries).
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengimbau agar konflik internal di PWI dapat segera diselesaikan demi kepentingan bersama serta keberlanjutan organisasi. Dewan Pers mempertimbangkan untuk harus bersikap tidak berpihak kepada dualisme kepengurusan PWI. Hal ini sebagaimana peran dan kedudukan struktur organisatoris Dewan Pers.
Tak cukup imbauan dari Dewan Pers, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas pada 28 Agustus 2024, menerima Hendry CH Bangun dan Zulmansyah Sekedang. Keduanya diundang ke Kantor Menkumham sebagai upaya rekonsiliasi terhadap dua kepengurusan PWI tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Hendry CH Bangun dan Zulmansyah sepakat untuk rekonsiliasi dan membangun PWI demi Pers Indonesia.
Setelah itu ada upaya dari Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) memfasilitasi upaya penyelesaian kemelut yang terjadi dalam tubuh PWI Pusat. Pertemuan yang difasilitasi Wakil Menkomdigi akhir November 2024 dihadiri langsung Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang bersama para pengurus lainnya. Walau upaya ini oleh sebagian pihak disebut sebagai bentuk intervensi pemerintah.
Pasca dua pertemuan tersebut yang terjadi dualisme terus berlangsung, kemelut belum terurai. Ada banyak gagasan, ide atau nasehat dalam menyelesaikan masalah di tubuh organisasi wartawan tertua tersebut. Apa hendak dikata, dua pimpinan lembaga negara setingkat menteri saja tidak mampu memfasilitasi rekonsialiasi apa lagi hanya setingkat wartawan yang hanya menjadi anggota PWI.
Menurut wartawan senior Dahlan Iskan dalam salah satu artikelnya berjudul âPiring Kembarâ, âJadilah PWI kembar. Pecah. Tentu PWI kembar juga menjalar ke provinsi-provinsi. Belum ke semuanya tapi sudah mulai terasaâ.
Refleksi Dualisme
Tulisan ini bukan bermaksud menjadi solusi tapi sebagai upaya refleksi terhadap dualisme, konflik atau apa pun namanya yang tengah terjadi di tubuh PWI. Refleksi adalah proses perenungan diri yang mendalam terhadap suatu pengalaman, kejadian, atau pemikiran. Salah satu buah dari refleksi tersebut, ternyata dualisme kepemimpinan di tubuh PWI bukan yang pertama terjadi.
Kongres ke-XIV PWI berlangsung di Palembang pada bulan Oktober 1970. Hasilnya, lahir dua kepengurusan PWI Pusat; kepengurusan PWI dengan Ketua Umum BM. Diah dan pengurus lainnya Manai Sopian, HM. Hamidy, P. G. Togas sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen), T. Jously menjabat Wakil Sekjen, Deddy Soemitro (Bendahara), dan Moegianto (Wakil Bendahara.
Kepengurusan PWI dengan Ketua Umum Rosihan Anwar bersama pengurus LE Manuhua, Kol. Sugiarso Surojo, Jakob Oetama (Sekretaris Jenderal), Zein Effendi SH (Wakil Sekjen), H. M. Said Budiarti (Bendahara) dan RP. Hen Kah (Wakil Bendahara). Kongres PWI kali ini menggantikan Mahbub Djunaidi Ketua Umum PWI periode 1968-1971.
âTurunnya Mahbub Djunaidi membuat perpecahan yang disebabkan adanya perbedaan idealisme yang dimiliki oleh BM. Diah dan Rosihan Anwarâ, tulis Dhanti Salsabila Azis, Bunari dan Ahmal dalam âThe Indonesian Journalists Association (PWI) in Riau During the New Order Era 1968-1998â (2024).
Tentang konflik atau dualisme kepemimpinan PWI Burhanuddin Muhammad atau lebih dikenal dengan BM Diah dan PWI Rosihan Anwar, penelitian oleh Andi Suwirta berjudul âPers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa MALARI Tahun 1974 dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka dan Indonesia Raya di Jakartaâ (2018) menulis, terjadinya perseteruan antara Rosihan Awar dengan BM Diah pada tahun 1970-an berkisar pada siapa yang paling berhak menjadi pemimpin dalam tubuh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Sidang PWI pada awalnya telah mengambil keputusan untuk mengangkat Rosihan Anwar sebagai Ketua PWI, namun kemudian dengan rekayasa yang dilakukan oleh OPSUS (Operasi Khusus), kepemimpinan Rosihan Anwar â Pemimpin Redaksi surat kabar Pedoman di Jakarta yang berafiliasi dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) â digugat dan kemudian dihadapkan dengan BM Diah sebagai Ketua PWI, yang direstui oleh pemerintah Orde Baru.
OPSUS merupakan satuan khusus legendaris di masa Orde Baru dengan tokohnya Ali Murtopo (yang kemudian menjadi Menteri Penerangan). OPSUS adalah sebagai salah satu kontrol Orde Baru terhadap pers Indonesia.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah organisasi wartawan tertua dan paling berpengaruh di Indonesia. Sepanjang sejarahnya, PWI pernah mengalami konflik internal yang mengancam persatuan organisasi. Konfliknya serupa tapi tak sama dengan konflik yang kerap melanda partai politik (parpol) di Indonesia.
Sebelum dualisme kepengurusan PWI saat ini (Zulmansyah Sekedang dan Hendry Ch Bangun) pada tahun 1970 juga pernah terjadi dualisme kepengurusan PWI Pusat yang terjadi pasca Kongres PWI 1970 yang berlangsung di Palembang. Dijamin tidak semua wartawan atau anggota PWI tahu tentang sejarah konflik dan dualisme ini.
Apakah dualisme ini menimbulkan perpecahan dalam organisasi PWI? Di satu sisi ada yang mengatakan terjadi perpecahan, di sisi yang lain sampai pelaksanaan HPN 2025, perpecahan tersebut tidak meluas sampai ke kepengurusan PWI di tingkat provinsi, walau ada pengurus PWI beberapa provinsi yang dipecat. Justru yang terjadi di bawah adalah kebingungan para anggota PWI, mereka harus mengikuti kepengurusan PWI yang mana? Banyak dari mereka bersikap tidak mendukung pada salah satu kepengurusan, mereka memilih menunggu dualisme atau konflik ini menemukan solusinya.
Konflik internal PWI pertama kali terjadi Kongres ke-XIV PWI di Palembang tahun 1970. Mengutip Citriana Deferentian Wahyu Hidayanti dalam âKonflik Kepentingan dalam Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tahun 1970-1971â (2015), dalam kongres terdapat dua golongan yang berbeda sehingga menghasilkan dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan dalam PWI Pusat. Fenomena dualisme kepemimpinan ini menimbulkan dampak yang sangat besar, baik ke dalam internal organisasi PWI, terhadap pers, maupun masyarakat luas.
Menurut Citriana, bahwa terjadinya konflik kepentingan pada organisasi PWI tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial-politik dan perkembangan pers nasional pada masa awal Orde Baru. Kebebasan pers yang tinggi membuat pemerintah ingin mengendalikannya. PWI sebagai induk organisasi wartawan menjadi sasaran utama pemerintah untuk dapat menguasai pers nasional dengan cara mengintervensi Kongres PWI ke-XIV di Palembang tahun 1970.
Dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan dalam PWI Pusat pada masa itu menimbulkan dampak yang sangat besar, baik ke dalam internal organisasi PWI, terhadap pers, maupun masyarakat luas. (Dairul)