PEKANBARU, Derakpost.com- Formasi Riau meminta kiranya Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Dr Jaja, menindaklanjuti hal dugaan ada pengakuanyq setoran uang sebesar Rp50 juta ke oknum DLHK Riau.
Informasi terangkum, diketika alat berat tangkapan Polhut di Kuansing ini bebas dibawa pemiliknya ke Sumbar. Diketahui alat berat yang jenis Buldoser ditangkap tim gabungan Dinas LHK Riau, tapi dari pemilik mengaku telah membayar uang tebusan.
Pemberian yang diduga sebagai upaya ‘suap’ kepada oknum diduga pegawai DLHK Riau, agar alat berat yang ditangkap di kawasan hutan lindung Bukit Betabuh bisa dilepaskan, seperti dilansir dari Sabangmeraukenews.com.
”Saat kami jemput barang bukti kami membayar Rp 50 juta kepada orang DLHK di Pekanbaru. Kami mendapat izin membawa alat berat itu,” kata Raisa, istri pemilik alat berat tersebut kepada tim investigasi peduli hutan Kuansing.
Pengakuan Raisa tersebut membuka bau amis di balik hilangnya alat berat buldoser yang menjadi barang bukti tangkapan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau di hutan lindung Bukit Betabuh, Kuansing.
Alat berat itu kemudian hari ini, Minggu (30/1/22) telah ditemukan oleh aktivis-jurnalis lokal, berada dalam penguasaan pemiliknya di wilayah Sumatera Barat (perbatasan Kuansing), bisa lepas dari pengamanan petugas DLHK Provinsi Riau.
“Dari hasil wawancara kami ini dengan perempuan yang mengaku istri pemilik alat berat di lokasi alat berat ditemukan, dia itu mengaku telah ada menyerahkan uang. Ini sedang kami dalami itu siapa diberikan sehingga alat berat bisa lepas dan dipindahkan dari lokasi tangkapan DLHK,” kata seorang anggota tim yang menginvestigasi raibnya alat berat itu.
Sumber tersebut menyatakan akan membeberkan adanya indikasi bukti penyerahan uang di balik raibnya alat berat tersebut. Namun, ia sebelumnya tidak mengungkap kepada siapa uang diberikan pemilik alat berat, apakah kepada oknum di DLHK atau tidak.
Kepala Dinas LHK Provinsi Riau, Mamun Murod yang dikonfirmasi terkait temuan investigasi warga bahwa alat berat yang hilang ada di wilayah Sumbar dan diduga ada pemberian uang, meminta agar dikonfirmasi lewat anak buahnya, Fuad yang menjabat Kabid Penataan DLHK Riau.
Fuad dikonfirmasi, menyatakan kalau pihaknya sedang menelusuri informasi miring tersebut. Ia memerintah Kepala Satuan Polhut beserta tim Gakkum DLHK melakukan rapat terbatas atas informasi mengagetkan ini. Pasalnya, dalam hal ini akan mengambil langkah hukum jika benar demikian.
“Sedang kami telusuri, dan saya sudah perintah Kasat Polhut yang baru dilantik beserta tim Gakkum ini rapat terbatas terhadap berita beredar. Dan mengambil langkah langkah hukum, segera,” terang Fuad singkat lewat pesan WhatsApp.
Diwartakan sebelumnya, tentang kasus hilangnya alat berat itu berupa Buldoser yang ditangkap DLHK Riau saat di hutan lindung Bukit Betabuh, Kuantan Singingi (Kuansing) mulai terkuak. Ternyata, alat berat itu telah berada penguasaan oleh pemiliknya di wilayah Sumatera Barat.
Hilangnya alat berat tangkapan DLHK di hutan lindung Bukit Betabuh Kuansing memantik kecurigaan publik. Anggota DPRD Riau dapil Kuansing, Mardianto Manan mencurigai ada permainan dalam kasus tersebut. Ia meminta ada pengusutan secara tuntas soal dugaan permainan oknum di DLHK sehingga alat berat bisa hilang.
”Itu sangat memalukan, kok bisa begitu cara kerja DLHK Riau. Barang bukti bisa sampai hilang. Kita menduga ada permainan di sini. Kita minta DLHK agar bisa bertanggungjawab menyelesaikan masalah ini diusut sampai tuntas,” kata Mardianto Manan.
Senada itu, Akademisi dan serta Pakar Hukum Dr Muhammad Nurul Huda SH, MH menilai hilangnya barang bukti itu sebagai kejadian aneh yang tak lazim.
Lanjutnya, aaparat hukum dan DLHK Riau didesak agar menelisik keterlibatan sejumlah pihak terkait kejadian yang memalukan ini.
“Ini kejadian yang aneh, sekaligus juga memalukan. Barang bukti dalam dugaan tindak pidana itu paling utama. Sebaiknya, dilakukan pemeriksaan internal dan siapa pun yang terkait dengan kejadian ini,” ucap Direktur FORMASI RIAU ini.
Ia menjelaskan, penghilangan barang bukti dapat dikenai sanksi pidana, dan ancaman hukuman 4 tahun itu sesuai dengan pasal 233 KUHPidana. “Tindak, agar memberikan efek jera, pelakunya harus diproses hukum. Jika diduga ada permainan dari oknum-oknum aparatur sipil negara, maka harus diberi sanksi tegas dan proses pidana,” ujarnya. **Rul