JAKARTA, Derakpost.com- Sampai saat ini, soal larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) masih diberlakukan di Indonesia. Sehingga, diketahui membuat Malaysia mendapat durian runtuh.
Terkait hal itu, Ekonom ini mengusulkan pemerintah segera mencabut larangan ekspor CPO itu sebagai langkah untuk merebut kembali pasar ekspor sawit yang kini didominasi oleh Malaysia.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan dengan pencabutan larangan ekspor, Indonesia akan kembali perform di pasar ekspor kelapa sawit dan turunannya.
“Cuma harus diwaspadai ini kan selama larangan berlaku masih banyak terdapat tumpukan CPO didalam negeri. Maka itu ada masa expired. Bisa rugi terlalu lama di stop, jadi harus disalurkan. Apalagi itu CPO dan turunanya sebagian besar kan pasarnya di ekspor,” kata Faisal.
Faisal juga mengatakan, masalah harga minyak goreng masih tinggi tidak dapat diselesaikan itu hanya dengan melarang ekspor CPO. Ini akar masalahnya, maka harus dicari,”katanya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengatakan opsi terbaik adalah segera mencabut larangan ekspor CPO.
Selain itu, untuk merebut kembali pasar ekspor yang telah didominasi Malaysia, pemerintah perlu memfasilitasi pemain sawit dengan calon buyer luar negeri untuk normalisasi perdagangan kembali
“Misalnya ada calon buyer potensial di negara tujuan ekspor CPO maka atase perdagangan dan kedutaan besar bisa fasilitasi business matching,” kata Bhima.
Di sisi lain, menurutnya, pemerintah juga perlu memperluas pasar/buyer yang potensial ke negara alternatif misalnya Afrika atau Timur Tengah.
Adapun Bhima mengatakan Malaysia sebelumnya memiliki porsi sekitar 27 persen dari total produksi CPO dunia atau memiliki kapasitas produksi 20 juta ton per tahun.
“Dengan absennya Indonesia di pasar CPO internasional pasca pelarangan ekspor, akhirnya Malaysia menjadi penguasa 84 persen total ekspor CPO,” kata Bhima.
Menurutnya ini adalah kesalahan kebijakan sehingga membuat Malaysia mendapat durian runtuh dua kali. Pertama, harga CPO pasca pelarangan ekspor naik 9,8 persen dibanding satu bulan yang lalu. “Harga CPO saat ini tercatat 6.400 RM per ton,” lanjutnya.
Menurutnya ini adalah kesalahan kebijakan sehingga membuat Malaysia mendapat durian runtuh dua kali. Pertama, harga CPO pasca pelarangan ekspor naik 9,8 persen dibanding satu bulan yang lalu. Harga CPO ini tercatat 6.400 RM per ton.
Kedua, importir sawit khususnya di India, China dan Eropa mencari alternatif sawit ke Malaysia.
Akibatnya, petani dan ekosistem industri CPO di Malaysia kebanjiran kontrak. Dikhawatirkan kontrak berlaku jangka panjang minimum 1 tahun ke depan.
“Ketika pelarangan ekspor CPO dicabut, tidak mudah bagi produsen sawit Indonesia mencari calon buyer karena sudah terikat kontrak dengan Malaysia,” katanya.
Adanya larangan ini membuat devisa ekspor hilang hingga US$3 miliar per bulan. Hal lain, Indonesia juga tak serta merta dengan mudah mendapatkan kembali buyer CPO di pasar internasional meski nantinya mencabut larangan ekspor
“Tidak semua otomatis kembali normal. Apalagi dampak pelarangan ekspor CPO menimbulkan trauma bagi buyer di luar negeri karena ketidakpastian kebijakan di Indonesia cukup tinggi,” katanya. **Rul