Jadi Warisan Dunia, Beragam Aksi Harus Dibuat untuk Pantun
MP, PEKANBARU – Beragam aksi harus dilakukan untuk pantun, menyusul dijadikannya khazanah Melayu tersebut sebagai warisan dunia.
Di antaranya adalah menjaga ekosistem pantun dengan penglibatan berbagai sektor terutama kebijakan sumber daya alam. Selain itu adalah pewarisan dengan berbagai bentuknya di samping mempertahankan serta merangsang aktivitas pantun selama ini.
Demikian benang hijau yang mengemuka dalam Kenduri Virtual Pantun Menjadi Warisan Dunia di Pekanbaru, Ahad malam (27/12/2020).
Di anjung sastrawan Taufik Ikram Jamil, kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bekerja sama dengan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dan Dinas Kebudayaan Riau. Sekira 350 peserta bergabung dalam kegiatan di alam maya ini yang tidak saja berasal dari Indonesia, tetapi juga Malaysia, bahkan Belanda.
Keakraban dan kekompakan peserta terlihat jelas, misalnya terus berlangsung perbincangan setelah acara ditutup secara resmi pukul 22.45. Malahan dari perbincangan “tambahan” ini melahirkan suatu komitmen untuk melanjutkan silaturahim dalam bentuk WhatsApp Group (WAG).
Dengan demikian, berbagai informasi dapat bertukar secara cepat selain menjaga silaturahum agar berkekalan.
Tampil sebagai pembicara adalah Ketua ATL Prof Dr Pudentia MPSS، Ketua ATL Riau yang Juga Ketum MKA LAMR Datuk Seri Alazhar, pakar sastra Melayu dari Belanda Will Derks, pakar seni pertunjukan Melayu dari Amerika Serikat Patricia Ann Hardwick, peneliti ekspresi budaya Melayu Sita Rohana, budayawan Assc Prof Dr A. Malik, mantan pejabat Kemendikbud Nadjamuddin Ramly, kemudian disimpai oleh Wakil Gubernur Riau Brigjen TNI (Purn) Edy Natar Nasution.
Kegiatan dibuka dengan lagu Lancang Kuning, lagu rakyat Riau yang semua liriknya adalah pantun. Khazanah ini juga dilan tunkan dengan berbagai lagu yang didendangkan Siska Amirza dengan petingan gambus Budi.
Salah satu bentuk penempatan pantun dalam tradisi Riau berupa kayat pantun dituturkan oleh maestro Fakhri Semekot. Ditampilkan juga kepiawaian milenial berpantun melalui video, bahkan secara langsung generasi muda ini disandingkan dengan generasi sebelumnya (X) yakni Tuan Firdaus dan anaknya, Cik Fadli dalam sesi jual-beli pantun.
Tentu saja, jual-beli pantun cukup heboh. Tak kurang sosok Prof Madya Dr Basrul bin Bahaman dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, ambil bagian. Sastrawan Malaysia Harlym Yeo tak ketinggalan menjual dan membeli pantun. Tampil juga Dr Suryadi di Leiden, Belanda, yang setia mengikuti kegiatan sejak awal. Makin lengkap sesi ini dengan jual beli pantun antara Dr Elmustiian dari Riau dengan sejumlah peserta.
Menangkap Butir Perbincangan
Adalah Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution mengucapkan, “Kini pantun sudah berada di muara pengakuan warisan dunia, lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya? Pertanyaan ini tentu sudah dijawab seiring dengan pertanyaan mengapa pantun harus menjadi warisan dunia. Namun, semua abstraksi yang dibentangkan semula perlu pula kita urai sebagai wujud dari kerja yang tuntas di titik pencapaian ini.”
Mengiringi rencana ini semula, kata Wagub, pemerintah Provinsi Riau, sejak tahun 2017 melalui Dinas Kebudayaan telah melakukan banyak hal dalam upaya agar pantun layak ditetapkan menjadi warisan dunia. Berbagai seminar, pameran, dan aktivitas terkait pantun di masyarakat senantiasa dilakukan secara intens. Tak kalah penting dari itu, adalah juga bagaimana peran ATL yang bertungkus lumus sejak awal dalam mendorong agar pantun ditetapkan menjadi warisan dunia. Banyak forum dan aktivitas yang telah dilakukan oleh ATL.
“Tentu saja kegiatan yang telah berlangsung selama ini harus diteruskan. Karena pembinaan pantun ke depannya sudah menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Saya kira, apa yang telah dilakukan selama ini antara Kemendikbud, Pemprov Riau, Pemprov Kepri, ATL, akademisi di dalam dan luar negeri, para mahasiswa dan masyarakat harus dilanjutkan dengan segera membuat aksi-aksi yang konkrit terkait kelestarian dan pengembangan pantun kini dan nanti. Semua pihak perlu menyegarkan kembali komitmennya masing-masing dalam upaya menghasilkan capaian-capaian strategis di masa akan datang melalui tradisi pantun ini,” kata Wagub.
Dia mengaku, acara Kenduri Virtual Pantun, tentu sangat menarik dan berfaedah terutama agar mampu menangkap setiap butir perbincangan untuk diimplementasikan dalam kebijakan dan peran aktif pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan pantun dalam berbagai aktivitas yang bersesuaian khususnya di pemerintahan. Antara lain misalnya, di bidang pendidikan, pantun harus disosialisasikan, diajarkan dan dipopulerkan secara lebih luas kepada peserta didik melalui muatan lokal.
Selain itu, melanjutkan program kelestarian pantun, merawat kualitas dan kuantitas pelaku dan komunitas pendukung pantun, melakukan riset mendalam sebagai upaya menemukan peran dan fungsi pantun terhadap kelompok masyarakat di masa kini. Selain itu membangun komunikasi untuk menciptakan ruang dan wadah kerjasama diplomatik dengan negara tetangga.
Ekosistem Pantun
Baik Sita Rohana, Patricia, Will Derks, dan A. Malik, menyebutkan bahwa pantun memenuhi berbagai sendi kehidupan mulai dari berhubungan dengan ghaib, adat, dan kegiatan komunal ecara populer. Dalam kadar tertentu, pantun masih berada di posisinya, bahkan masih menginspirasi dan dipelajari. “Dalam suatu penataran puisi di Belsanda baru-baru ini, saya ketemu dengan eorang pesertanya yang menyebutkan bahwa ia belajar pantun,” kata Will Derks.
Dalam posisi memenuhi sendi kehidupan itu pulalah, sebagaimana dikatakan Datuk Seri Al azhar, pantun juga berhadapan dengan sektor kehidupan yang lain. Ekosistem pantun misalnya berkaitan dengan lingkungan terutama sumber daya alam. Pantun-pantun dalam menumbai, suatu tradisi mengambil madu misalnya, akan semakin kurang dituturkan kalau kegiatan mengambil madu secara tradisi terus berkurang.
Kenyataannya, sejalan dengan pemanfaatan hutan, kayu sialang juga ikut terbabat, sehingga tempat lebah membuat sarang yang bisa diambil madunya melalui kegiatan menumbai itu pun, semakin berkurang. Belum lagi dikaitkan kenyataan bagaimana sekitar 80 persen dari sampiran pantun adalah flora dan fauna, juga banyak yang terbabat dalam pemanfaatan hutan selama ini.
“Jadi, aksi pantun juga harus bisa mengembalikan kondisi ekologi—terlepas dari bagainana mengimplementasikannya,” kata Al azhar.
Sebelumnya, baik Pudentia maupun Najamuddin menceritakan proses mengurus pencapaian pantun sebagai warisan budaya tak benda dunia. Banyak pihak yang terlibat, terutama poros Jakarta, Riau, dan Kepri. * (Rls)