Jikalahari dengan Para Pakar Bahas Banjir Riau Ini Sampai Kapan ?

0 86

DERAKPOST.COM – Diketahui, banjir di Riau menjadi sorotan dalam Diskusi Publik yanh bertajuk Banjir Riau Sampai Kapan?. Hal ini ditaja pihaknya Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Yang bertempat di Sekretariat Jikalahari, di Jalan Kamboja No. 39, Pekanbaru, diskusi yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, tokoh adat, serta perwakilan pemerintah.

Diskusi ini berfokus pada upaya strategis Gubernur Riau dalam menghadapi banjir yang terus berulang akibat kerusakan hutan, lahan gambut yang tak lagi berfungsi sebagai penyerap air, serta dampak operasional PLTA Koto Panjang.

Kepala BPBD Riau, M Edy Afrizal, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab banjir yang terjadi di Pelalawan adalah bukaan pintu air PLTA Koto Panjang yang dilakukan akibat tingginya curah hujan di hulu. Namun, menurut BMKG Riau Bibin Sulianto, perubahan pola hujan dan kondisi cuaca yang semakin tidak menentu juga menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi banjir di Riau.

“Puncak hujan di Riau kini mengalami pergeseran, intensitasnya meningkat, dan cuaca semakin sulit diprediksi,” ungkap Bibin.

Dr. Griven H. Putra, tokoh adat yang juga menjabat sebagai Batin Sibokol-bokol Datuk Sati Diraja Rantaubaru, menyoroti hilangnya kearifan lokal dalam menghadapi banjir.

“Dulu, masyarakat adat membangun rumah panggung, rumah rakit, dan memiliki sampan sebagai tempat berlindung saat air naik. Sekarang, pembangunan dipaksakan seperti di daratan biasa. Akibatnya, saat banjir datang, sekolah tutup berbulan-bulan, kebun hancur, dan masyarakat adat kehilangan akses terhadap obat-obatan tradisional,” jelasnya.

Menurutnya, pembangunan di Riau harus disesuaikan dengan kondisi alam, bukan malah memperburuk keadaan.

Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, menegaskan bahwa deforestasi besar-besaran untuk kepentingan industri, termasuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, menjadi penyebab utama daya tampung air di Riau menurun drastis.

“Izin perusahaan harus ditinjau ulang! Jangan sembarangan mengeluarkan izin, apalagi tanpa kajian Amdal yang benar,” tegasnya.

Senada dengan itu, akademisi Dr. H. Mardianto Manan, MT, menyoroti perlunya penataan ruang berbasis daya dukung lingkungan, dengan langkah-langkah konkret seperti:

– Melindungi kawasan resapan air, termasuk gambut dan daerah aliran sungai (DAS).
– Restorasi gambut dengan teknik rewetting (pembasahan kembali).
– Reforestasi lahan yang beralih fungsi menjadi perkebunan atau permukiman.
– Pembangunan drainase berbasis ekohidrologi dan pengendalian banjir dengan tanggul serta embung.

Diskusi semakin panas ketika perwakilan Forum Peduli Sungai Kampar (FPSK), Maruli Silaban, SH, menyatakan bahwa PLTA Koto Panjang harus bertanggung jawab atas banjir yang terjadi di sepanjang Sungai Kampar.

“Banjir ini bukan sekadar bencana alam, tapi juga akibat kesalahan manusia dalam mengelola air. PLTA Koto Panjang harus ditutup jika terus menyebabkan bencana,” tegas Maruli.

Sementara itu, Edward Pangaribuan, M.Si., juga mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi tata kelola air PLTA Koto Panjang, terutama dalam aspek Amdal, SOP, serta dampaknya terhadap masyarakat.

“PLTA adalah objek vital, tapi jangan sampai hanya mementingkan kepentingan bisnis tanpa mempertimbangkan efeknya terhadap masyarakat. Kita harus hentikan banjir yang berasal dari PLTA Koto Panjang!” serunya, disambut dukungan dari para peserta diskusi.

Kesimpulan: Saatnya Bertindak, Stop Banjir di Riau!

Diskusi ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting:
–  Evaluasi total pengelolaan air PLTA Koto Panjang agar tidak terus menerus menjadi penyebab banjir.
– Penegakan hukum terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan mempercepat restorasi lahan gambut.
– Penyusunan kebijakan tata ruang berbasis ekologi, bukan sekadar kepentingan investasi.
– Masyarakat perlu dididik kembali tentang mitigasi banjir berbasis kearifan lokal.  (Rilis)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.