Kekejaman Jepang pada Romusha Saat Pembuatan Jalur Kereta Api di Riau

0 391

 

DERAKPOST.COM – Jalur Kereta Api Pekanbaru selesai dibuat tanggal 15 Agustus 1945, rel kereta api nyambung dari Logas sampai ke Jalan Tanjung Datuk dekat Pelabuhan Sungai Duku Pekanbaru. Saat itu juga pada hari Dai Nippon (Jepang) ini menyerah setelah Nagasaki dan Hiroshima di Bom Atom Amerika Serikat.

Diketahui, Jalur Kereta Api Pekanbaru (Provinsi Riau) – Sijunjung (Provinsi Sumbar) yang dikenal saat ini. Jalur itu dibangun tahun 1944-1945 oleh tentara (penjajah, red) Jepang tersebut dengan mempekerjakan tawanan perang Sekutu terdiri dari Belanda, Inggris, Australia dan Romusha (tawanan Indonesia, red) dari Pulau Jawa.

Bukti sejarahnya itu terdapat lokomotif kereta api di Lipatkain Kamparkiri sudah diangkat ke Tugu Pahlawan Kerja di Marpoyan Jalan Kaharuddin Nasution Pekanbaru dan juga lokomotif di rumah penduduk dekat Jalan Tanjung Datuk Pekanbaru. Rel kereta api peninggalan Romusha Jepang seyogyanya bisa jadi objek wisata.

Tapi saat ini, hilang sirna peninggalan sejarah Romusha Jepang dari Logas sampai ke Pekanbaru. Bila perlu dibuat dibangun kembali model (miripnya, red) kamp Romusha Jepang dari Logas itu. Yakni dibangun sebagai objek sejarah dan pariwisata bisa dikunjungi generasi muda dan wisatawan. Setidaknya dapat meningkatkan ekonomi UMKM.

Dari catatan sejarah kala itu pada tahun 1945, dihelat upacara selesai dibangun rel Kereta Api. Itu disaksikan dari jarak jauh oleh tawanan perang Jepang yang dipekerjakan sebagai Romusha. Jepang masih bisa berteriak Banzai. Diketahui dari 6.764 tawanan perang bule ini yang tewas berjumlah 2.596 orang. Untuk hal
100.000 Romusha Indonesia pada akhir 1945, cuma 20.000 orang yang hidup.

Salah seorang wartawan Henk Hovinga dalam bukunya Eindstation Pekan Baru 1944 – 1945 Dodenspoorweg Door Het Oerwoud (1982). Dalam bukunya yang menulis mereka telah dipaksa bekerja “dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”.

Era tahun 1950-1960an adalah era diproduksinya oleh Holywood sejumlah film yang menceritakan berbagai kisah sekitar Perang Dunia II. Banyak film mengisahkan pertempuran yang terjadi di Pacific, sebagian lagi kisah-kisah pertempuran di Eropa, dan ada juga yang mengisahkan pertempuran di Afrika Utara, dan berbagai tempat lainnya di dunia. Sejumlah film jenis ini menjadi sangat terkenal, salah satu di antaranya adalah film “The Bridge on the River Kwai”, yang bercerita tentang penderitaan tawanan perang Sekutu yang bersama dengan romusha yang berasal dari sejumlah negara Asia (termasuk Indonesia) dipaksa oleh tentara Jepang untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Thailand dengan Burma.

Alur kereta api ini menghubungkan Muara, yang merupakan ujung jalur SS di Sumatera Barat, dengan Pekanbaru, sebuah kota pelabuhan di Sungai Siak. Jalur sepanjang 220 km ini dibangun antara 1943-1945. Alasan pertama dan utama untuk pembangunan jalur ini adalah untuk mengangkut batu bara dari Tapui, yang terletak di cabang dari jalur ini. Alasan kedua adalah alasan strategis: menghubungkan Samudera Hindia dengan Selat Malaka, pada suatu masa ketika kapal-kapal Jepang terancam oleh torpedo Sekutu. Jalur ini dibangun di bawah pengawasan Korps Angkatan Darat ke-25. Jepang sendiri sama sekali tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan jalur ini; semuanya didatangkan dari Jawa dan Sumatera.

Alasan strategis untuk pembangunan jalur ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur kereta api di Burma, yang diharapkan menjadi jalur transportasi militer Jepang ke garis depan di Burma dan ke bagian timur India. Sementara jalur Burma mulai dibangun pada 1942, jalur Pekanbaru baru dibangun pada bulan Maret 1943. Kereta api pertama antara Padang-Pekanbaru baru berjalan tanggal 15 Agustus 1945, ketika Jepang menyerah. Sekitar 50.000 romusha dan hampir 700 tawanan perang, terutama orang Belanda dan Inggris, mengalami kelelahan, kurang makan dan penyakit tropis ketika membangun jalur ini.

Nampaknya Jepang sengaja melalaikan kondisi kesehatan para pekerja ini. Para pekerja selalu mengalami kekurangan obat-obatan, para dokter terpaksa melakukan pengobatan dalam kondisi yang amat buruk. Setelah perang berakhir, diketahui bahwa berkotak-kotak obat dari Palang Merah tertahan begitu saja di Pekanbaru. Nampaknya Jepang tidak menyadari bahwa para pekerja yang sehat akan menyelesaikan jalur ini dengan lebih cepat!

Kondisi para tawanan perang yang membangun jalur Burma masih lebih baik. Sekitar 80 persen dari para romusha, dan 14 persen dari para tawanan perang, tidak pernah pulang kembali. Ini bukan saja karena perlakuan terhadap para romusha lebih buruk, namun juga karena antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, para tawanan perang belum dipekerjakan untuk pembangunan jalur ini. Romusha membangun jalur dengan tenaga otot: 30 ribu orang bekerja dengan pacul, sekop dan keranjang. Sekitar 5000 tawanan perang Inggris dan Belanda membangun jembatan dan memasang rel, juga dengan tenaga manusia.

Pada 24 Mei 1944 rel mulai dipasang dari Pekanbaru. Pada akhir tahun itu, rel sudah mencapai Logas. Pada 7 Maret 1945 rel mulai dipasang dari Muaro. Antara Muaro dan Logas para romusha dan tawanan perang bekerja bersama-sama membangun jalur. Di bagian-bagian lainnya, Jepang memisahkan para romusha dan tawanan perang. Jalur Muara-Logas hanya digunakan oleh kereta api yang membawa material dalam proses pembangunan. Kereta api resmi untuk pembukaan jalur pada tanggal 15 Agustus 1945 berjalan dari kedua ujung, yang satu mungkin berangkat dari Muaro, dan yang lain dari kamp 10, dekat Lubukambacang. Upacara singkat pembukaan berpuncak dengan pemasangan “paku emas”.

Pada September 1945 dijalankan kereta api untuk membawa bahan makanan bagi para tawanan perang di kamp, dan kemudian untuk membawa mereka keluar. Segera setelah itu jalur tidak bisa lagi dipakai. Sementara itu, jalur Logas-Pekanbaru, menurut beberapa laporan, benar-benar dipakai. Di jalur ini berjalan kereta api yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp ke tempat kerja, dan juga kereta api barang, pengangkut bahan-bahan kebutuhan hidup dan kereta api pengangkut batu bara. Pada bulan Juni 1945 alat-alat bengkel dari Pekanbaru dibawa ke Logas. Sejak bulan itu, Logas menjadi balai yasa untuk perawatan kereta api. Di sana dapat diperbaiki gerbong barang dan juga diproduksi tirpon. Jalur Petai-Pekanbaru sepanjang 119 km, dan juga jalur sepanjang sekitar 18 km ke tambang batu bara di Tapui (11 km jalur sempit 700 mm, sisanya jalur 1067 mm) dipakai sejak awal Mei 1945 sampai 15 Agustus 1945 untuk mengangkut batu bara.

Menurut Neumann dan Meijer, ada “dua atau tiga kereta api batu bara setiap minggunya”, dan juga “beberapa gerbong batu bara disambungkan ke kereta api pengangkut tawanan perang”. Jalur ini hanya aman untuk kecepatan sangat rendah, menurut Meijer kecepatan rata-rata adalah lima kilometer per jam, dan sering terjadi keluar rel. Sebagian besar trayek Muaro-Pekanbaru mengikuti jalur yang dirancang SS pada dasawarsa 1920-an, yang karena krisis ekonomi batal dibangun. Jalur rancangan ini memiliki tanjakan maksimum 1 persen. Sekitar 85 persen jalur yang dibangun Jepang mengikuti rencana ini, namun tanjakan maksimum menjadi 2 persen. Rel didatangkan dari jalur-jalur di Jawa yang dibongkar, dan juga rel dari DSM.

Tidak dipahami mengapa Jepang mendatangkan lok 2C SCS (C54) yang sama sekali tidak cocok untuk jalur berkelok-kelok dan lemah ini. Juga lok 1B1 dari DSM sama sekali tidak cocok karena titik beratnya yang tinggi. Bila dokumen tentang jalur kereta api Burma dibandingkan dengan jalur Pekanbaru, dapat disimpulkan bahwa jalur Pekanbaru bahkan lebih buruk lagi. Selain dua jembatan dari besi yang dibuat dari komponen cadangan milik SSS, semua jembatan dibuat dari kayu. Konstruksi ini sedemikian lemah dan karena balok yang digunakan pendek, bentang jembatan hanya bisa mencapai maksimum enam meter, sehingga perlu banyak pilar untuk menopangnya. Dengan banyaknya balok-balok kayu yang mengapung di sungai pada musim hujan, segera saja jembatan-jembatan ini rusak. Juga tanggul-tanggul yang dibangun terlalu curam, sehingga segera saja rusak oleh air hujan.

Bermacam-macam lokomotif dan gerbong dari Jawa dan Sumatera dibawa ke tengah-tengah hutan ini. Jepang sendiri juga mengirimkan beberapa truk-rel ke jalur ini. Sekitar 20 lokomotif dibawa ke jalur ini, yaitu empat lok 2C dari SCS (C54), tiga lok 1C1 dari SS (C30), satu lok 2B (B51) dan lok nomor 7, 30, 56, 60 dan 66 dari DSM. Lok milik SSS juga dipergunakan di jalur ini. Disadur dari Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd, hal. 111 sebagaimana nampak dalam peta sketsa di atas, jalur KA Maut Muaro-Pekanbaru melalui antara lain Logas, Muara Lembu, Lipat Kain, dan Taratak Buluh. Kamp yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan. Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari di bawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang.

Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, disamping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justeru jatah makanannya tidak diberikan. Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim. Para POW masih lebih beruntung dengan adanya dokter di antara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya. Sama dengan Death Railways Burma-Siam, bermacam penyakit seperti disentri, kholera, malaria, dan beri-beri digabung dengan kerja berat dan siksaan yang mereka derita menyebabkan tingginya angka kematian dari pada para romusha dan POW ini.

Lokasi Kamp secara menyeluruh (buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang POW Sekutu. Muaro-Pekanbaru : Kekejaman Perang dan Penindasan di Rimba Sumatera sebagaimana nampak dalam peta sketsa di atas, jalur KA Maut Muaro-Pekanbaru melalui antara lain Logas, Muara Lembu, Lipat Kain, dan Taratak Buluh. Kamp yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan. Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari di bawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang.

Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, di samping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justru jatah makanannya tidak diberikan. Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim. Para POW masih lebih beruntung dengan adanya dokter di antara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya.

Kondisi barak di kamp dikisahkan ada yang tanpa atap sama sekali. Kalau dilihat dari gambar-gambar sketsa yang dibuat oleh beberapa orang POW, bentuk barak dan pengaturan kerja sangat mirip dengan Death Railways Burma-Siam. Gambar-gambar sketsa dan foto yang nampak di sini dapat menggambarkan secara jelas kepada kita situasi dan kondisi yang mengerikan ini. Foto-foto dibuat setelah Jepang kalah dan para POW dan romusha diselamatkan oleh tentara Sekutu. Romusha yang selamat sama dengan Death Railways Burma-Siam, bermacam penyakit seperti disentri, kholera, malaria, dan beri-beri digabung dengan kerja berat dan siksaan yang mereka derita menyebabkan tingginya angka kematian dari pada para romusha dan POW ini.

Kurangnya bahan makanan membuat para pekerja paksa ini harus mencari jalan keluar sendiri. Tikus yang berkeliaran di lokasi kamp merupakan salah satu pilihan guna mengatasi kekurangan ini. Diceritakan juga bahwa suatu waktu dokter POW melihat ayam yang berada di kamp nampak sehat dan memperoleh makanan yang cukup. Ternyata ayam ini memakan burayak dari WC barak. Diambil kesimpulan logis bahwa kalau burayak ini cocok untuk ayam tentunya juga cocok untuk manusia. Burayak inipun (maaf) kemudian menjadi pilihan menu berprotein yang diberikan kepada pasien dan ternyata mampu menyembuhkan mereka. Burayak ini juga digunakan sebagai disinfektan yang mujarab.

Di sini nampak harkat kemanusian para romusha dan POW ini benar-benar direndahkan secara brutal oleh pihak yang sedang memenangkan peperangan. Lokasi Kamp secara menyeluruh (buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang POW Sekutu. Spoiler for Peta Camp 9 Logas: Peta Kamp 9, Logas

Pemancangan “paku emas” yang menandai selesainya pembangunan jalan kereta api ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 di Pekanbaru oleh komandan tentara Jepang. Dan tepat pada tanggal itu pula Jepang sebenarnya sudah kalah perang. Sekutu menang Perang Dunia II. Jalan kereta api ini hanya sempat digunakan untuk membawa para POW dan tentara Jepang kalah perang ke Pekanbaru. **Rul/Rls

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.