PT Hutama Karya (HK) dan PT Rosalisca ini perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi, seharusnya di-blacklist atau masuk dalam daftar hitam. Keduanya juga mesti dikenakan sanksi denda sebesar satu persen (satu per mil) per hari dari nilai pekerjaan yang terlambat.
Kenapa harus? Begitulah. Sejak tahun 2018, HK (BUMN) dan Rosalisca, perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang jasa konstruksi, melakukan kerja sama operasional (KSO) menggarap proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Kota Pekanbaru. Atau disebut dengan Metropolitan Sanitation Investment Management Project (MSIMP).
Kedua perusahaan adalah pemenang proyek paket SC-2 Area Selatan. Nilainya sekitar Rp141 milyar lebih, dengan jangka waktu pelaksanaan 780 hari kalender. Dimulai 01 November 2018 dan berakhir 2020. Sementara paket SC-1 dikerjakan oleh PT. Wijaya Karya-Karaga (KSO) senilai Rp206 milyar.
Rasanya tidak kan ada yang meragukan HK dan Wijaya Karya, BUMN dengan segudang pengalaman mengerjakan proyek-proyek raksasa, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Memiliki sumber daya manusia dengan skill tinggi dan dana besar, maka proyek senilai seratus atau dua ratus milyar hanya merupakan proyek skala menengah buat keduanya.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sejak mulai dikerjakan, proyek yang bertujuan mendukung program Pemko Pekanbaru untuk mengurangi pencemaran air tanah dari limbah domestik yang semakin mengkhawatirkan ini, malah membuat susah warga Pekanbaru.
Manajemen K3 yang seadanya membuat lalu lintas macet. Hasil kerja yang tidak profesional terlihat pada bekas galian yang sudah diaspal, kembali turun dan bergelombang. Bahkan membuat lubang baru yang berbahaya bagi pengendara.
Keluarnya air dari beberapa lobang manhole, malah menimbulkan masalah baru. Jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan limbah tinja dari rumah tangga ke depannya akan menyebar kemana-mana.
Manhole adalah lobang di tengah jalan tempat pekerjaan saluran pipa utama. Lobang inilah yang membuat jalan ditutup selama tahap pengerjaan. Ketika pekerjaan sudah selesai, pada badan jalan hanya terlihat tutup manhole berbentuk bulat di badan jalan.
Warga yang berdomisili di lokasi proyek, merasakan juga dampak terhadap perekonomian mereka. Selain wilayah permukiman, ruas jalan yang terkena proyek IPAL adalah jalur ekonomis; kawasan perdagangan seperti pertokoan, restoran dan cafe. Geliat ekonomi masyarakat sangat terganggu.
“Banyak usaha yang bangkrut dan tutup disebabkan pekerjaan yang terlalu lama dan belepotan,” ujar salah seorang pemilik ruko di Jl. Cempaka, Pekanbaru.
Jalan Cempaka ini merupakan lokasi proyek paket SC-2 yang menerima dampak paling parah. Sampai akhir Agustus 2022, pekerjaan belum juga selesai. Lubang manhole di tengah jalan masih menganga, menutup badan jalan seutuhnya dengan alat berat ekskavator berada di tengah.
Sampai disini, muncul banyak pertanyaan. Kenapa HK dan Rosalisca masih leluasa bekerja? Apa yang mereka lakukan selama ini? Mengapa Satker Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman (PSPLP) Riau sebagai penyedia proyek diam saja? Apakah karena kontraktor pelaksana adalah perusahaan pelat merah sehingga tak bisa ditindak?
Entahlah. Yang jelas, jika mengacu pada aturan jasa konstruksi yang ada, Satker seharusnya sudah menghentikan pekerjaan. Mencairkan dana jaminan, mengenakan denda dan menetapkan HK dan Rosalisca sebagai perusahaan yang masuk daftar hitam. Dengan demikian, untuk satu tahun ke depan, dua perusahaan ini tidak dibenarkan ikut tender di seluruh wilayah Indonesia.
Logikanya sederhana. Sesuai kontrak, perintah kerja dimulai 01 November 2018 selama 780 hari
kalender atau 26 bulan. Tetapi pada 2020, dengan alasan pandemi Covid-19 yang melanda dunia, terbit Keputusan Menteri PUPR yang memperpanjang waktu pekerjaan selama setahun. Sehingga kontraknya berakhir pada 27 Desember 2021.
Tetapi bukannya memanfaatkan penambahan waktu yang istimewa ini. Kualitas pekerjaan HK-Rosalisca dan Wijaya Karya-Karaga malah semakin tidak jelas. Sebagai BUMN berpengalaman, HK dan Wika seperti mempertontonkan ketidakberdayaan mereka dalam mengerjakan proyek IPAL di Kota Pekanbaru.
Progres yang terlalu lama dan berlarut-larut pada satu ruas jalan, membuat masyarakat muak dan kesal. Terbukti hingga akhir Desember 2021, sesuai batas waktu perpanjangan kontrak, dua paket SC-1 dan SC-2 itu belum juga selesai. Terakhir mereka minta perpanjangan waktu 90 hari kalender, hingga akhir Maret 2022.
Wika-Karaga berhasil menuntaskan Paket SC-1 pada akhir Maret 2022. Sementara HK-Rosalisca yang mengerjakan paket SC-2, tetap tidak mampu memenuhi tenggat waktu akhir Maret. Kebablasan malah. Sampai akhir Agustus 2022, ruas Jalan Cempaka yang mereka kerjakan, masih terbengkalai. Sudah lebih lima bulan dari batas akhir yang diberikan.
Sebagai perbandingan, kontrak yang dikerjakan PT Wijaya Karya-Karaga nilainya jauh lebih besar dari kontrak HK-Rosalisca. Pekerjaan SC-1 senilai Rp206 milyar meliputi pekerjaan sambungan rumah 1.000 (SR), pekerjaan pipa yang sudah terpasang 21.274,55 m, pekerjaan manhole dan pengembalian jalan aspal. Sementara Paket SC-2 senilai Rp141 lebih mencakup pekerjaan pipa yang sudah terpasang 14.218 m, pekerjaan manhole dan pengembalian jalan aspal.
Melihat perbandingan di atas, dimana paket SC-2 yang lebih kecil nilai proyek dan item pekerjaannya lebih sedikit, seharusnya bisa selesai lebih cepat. Namun kenapa hasilnya malah berbeda?
Dengan manajemen kerja yang amburadul dan tidak profesional ini, wajar jika banyak pihak menegaskan bahwa HK dan Rosalisca sudah seharusnya dimasukkan dalam daftar hitam.
M. Nasir Day, mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Riau, akhir Maret lalu malah pernah mengingatkan, jika sampai 31 Maret 2022 pekerjaan IPAL paket SC-2 tidak juga selesai, maka HK dan Rosalisca masuk dalam hitam.
“Sesuai Peraturan Menteri Keuangan, perusahaan diberi perpanjangan waktu 90 hari kalender. Sehingga jika 31 Maret tidak juga selesai, maka pada 1 April 2022 putus kontrak. Pekerjaan dihentikan dan perusahaan masuk daftar hitam,” tegasnya kepada wartawan, Rabu (30/3).
Kenyataan di lapangan, perusahaan masih tetap bekerja. Terutama di ruas Jalan Cempaka simpang Kemboja. Terlihat alat berat eskavator yang beroperasi menggali lobang cukup besar. Artinya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kegiatan dihentikan. Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada tindakan apapun dari Satker dan PPK yang merupakan perwakilan dari Kementerian PUPR?
Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, jelas diatur tentang pemberian sanksi ini. Dalam Pasal 78 ayat (3) huruf f, disebutkan perusahaan yang dikenakan sanksi adalah yang terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak.
Selanjutnya pada ayat (4) pasal yang sama tertulis, perbuatan yang dimaksud dapat dikenakan; sanksi pencairan jaminan, sanksi daftar hitam, sanksi kerugian dan atau sanksi denda keterlambatan.
Sebagai pihak pemberi proyek, Kementerian PUPR —melalui Satker PSPLP Riau— sebaiknya segera menghentikan pekerjaan paket SC-2 itu. Seyogianya, sanksi berat sudah mesti dilakukan demi menegakkan aturan. Jika tidak, tentunya akan banyak muncul pertanyaan dan prasangka buruk di kalangan pelaku jasa konstruksi.
Sungguh sangat disayangkan. Sebagai leader pada proyek paket SC-2 ini, nama besar Hutama Karya ikut tercemar. Salah satu BUMN Karya yang bonafid ini terlihat malah seperti dipaksa “mencuci” piring kotor dari manajemen kerja yang tidak profesional dari KSO tersebut.
Sepertinya, untuk menyelamatkan muka semua pihak, HK diminta mengambil alih seluruh pekerjaan dan tanggung jawab yang tersisa. Satker diminta “tutup mata”, seolah tidak ada masalah dalam pekerjaan. Dengan demikian Kementerian PUPR tidak akan menjatuhkan sanksi. Tak mungkin memberi hukuman berat kepada BUMN yang notabene adalah anak sendiri. Jika itu terjadi, apa kata dunia?
Lalu, bagaimana dengan Rosalisca? Saat ini jelas perusahaan swasta itu bersembunyi di belakang HK. Berlindung dalam arti sebenarnya. Jika HK dikenakan sanksi, misalnya masuk daftar hitam, maka nasibnya akan sama. Tetapi jika HK selamat, Rosalisca pun bertepuk tangan.
Menurut bisik-bisik dari kalangan pengusaha jasa konstruksi, proyek yang dimenangkan oleh dua perusahaan dengan pola KSO, sebenarnya hanya sebuah sandiwara. Umumnya yang di KSO-kan itu adalah proyek yang didanai APBN atau bantuan luar negeri.
Prinsipnya, supaya aman, negara pemilik uang menginginkan proyek tersebut dikerjakan oleh BUMN. Kenyataannya, terdapat banyak kepentingan dengan berbagai dalih dan pembenaran. Proyek IPAL ini misalnya. Dengan pagu anggaran Rp141 milyar dan Rp206 milyar, rasanya kita sepakat cukup hanya HK dan Wika saja yang mengerjakan. Tak perlu menggandeng pihak swasta.
Pertanyaannya, mengapa dua BUMN ini harus capek-capek menggandeng swasta untuk mengerjakan proyek IPAL itu? Hanya dua jawabannya. Pertama, HK dan Wika, khusus untuk wilayah Riau, tidak memiliki sumber daya (manusia dan alat) yang cukup serta dana untuk modal kerja. Sehingga merasa perlu menggandeng swasta. Rasa-rasanya point pertama ini sangat kecil kemungkinannya.
Kedua, sebenarnya kedua proyek tersebut memang sudah disiapkan untuk PT. Rosalisca dan PT. Karaga. Tetapi karena ada persyaratan harus dikerjakan oleh BUMN, maka dicarilah dua BUMN untuk digandeng dengan sistem KSO.
Kemungkinan besar point kedua ini yang terjadi. Sehingga tidak heran jika dalam praktiknya, proyek dikerjakan sepenuhnya oleh dua perusahaan swasta itu. Mulai dari modal hingga tenaga kerja dan peralatan. Sementara HK dan Wika hanya duduk manis menerima pembagian persentase keuntungan.
Apa memang seperti itu kejadiannya? Bisa iya bisa tidak. Tapi kalau melihat progres pekerjaan di lapangan yang terlambat dan berlarut-larut, rasanya benar adanya.
Dari informasi yang beredar di kalangan pengusaha jasa konstruksi, PT Rosalisca memang sering meninggalkan masalah dalam pekerjaan. Owner PT. Rosalisca, Robert Pangaribuan, yang dihubungi via WhatApps, tidak merespon ketika ditanya soal ini.
Sepertinya, seluruh pihak yang terlibat dalam proyek IPAL paket SC-1 dan SC-2 di wilayah Pekanbaru, kompak tutup mulut dan tidak melayani pertanyaan dari wartawan.
Begitu juga dengan Kepala Satker PSPLP Riau, Yeni Mulyadi, dan PPK Taufik. Hanya media online tertentu yang bisa berhubungan langsung dengan mereka. Itupun berita yang terbit hanya informasi sepihak berupa penjelasan resmi tentang progres pekerjaan. Sementara jika ada masalah di lapangan, konfirmasi wartawan media lain tidak akan dilayani.
Tapi sudahlah. Mari kita tunggu akhir dari kasus proyek IPAL Paket SC-2 ini. Apa yang akan terjadi kepada HK dan Rosalisca. Sanksi denda atau berupa masuk dalam daftar hitam, sesuai Perpres No 16 Tahun 2018, adalah rekomendasi dari PPK dan Satker.
Sementara yang bersangkutan, Kepala Satker Yeni Mulyadi dan PPK Taufik, sampai saat ini masih terlihat tenang-tenang saja. Tak tergoyahkan!**
Penulis
Helmi Burman
Wartawan Senior di Provinsi Riau
Ketua Dewan Kehormaran PWI Riau