DERAKPOST.COM – Dana Bagi Hasil (DBH) Kelapa Sawit yang akan dikucurkan pemerintah pusat kepada daerah dinilai belum mencerminkan rasa keadilan.
Pasalnya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang saat ini tengah dibahas bersama antara Kementrian Keuangan dan DPR-RI, pemerintah pusat hanya akan membagi 4 Persen dari pendapatan bea keluar dan pungutan ekspor kelapa sawit, dan produk turunannya ke daerah.
“Kenapa hanya 4% yang dibagi-hasilkan, sementara kita tahu pemerintah daerah juga merupakan bagian dari pemerintahan yang menjadi ujung tombak pelayanan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Kenapa tidak 50% yang dibagi hasilkan?” cakap Ketua DPRD Rohul Novliwanda Ade Putra, Senin (19/6/2023).
Menurut Wanda, jika membaca draft yang tengah dibahas, alokasi bagi hasil 4 persen yang dikucurkan pemerintah pusat dinilai masih sangat kecil bagi daerah penghasil terlebih alokasi DBH tersebut tidak seluruhnya akan dibagi ke daerah penghasil melainkan juga dibagi kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota tetangga.
“Bukan kah angka 4 persen itu cukup kecil dari total penerimaan negara dari sektor sawit atau CPO kelapa sawit dan produk turunannya, dan saya kira itu tidak sebanding dengan anggaran yang dibutuhkan daerah mengatasi kerusakan infrastruktur seperti jalan yang diakibatkan industri kelapa sawit di Rohul,” terangnya.
Selain dianggap belum rasional dan berkeadilan, salah satu persoalan yang nantinya akan dihadapi dalam penyaluran DBH Sawit yaitu terkait basis data yang digunakan dalam menentukan besaran DBH Sawit ke daerah mengingat belum adanya kesamaan data baik dari BPS, Pemerintah Daerah, KLHK, ATR BPN dan juga Kementerian Pertanian terkait luasan kebun sawit.
“Data luasan sawit ini juga akan menjadi bias sebab ada perbedaan data luasan yang cukup signifikan antara data yang dimiliki pemerintah Daerah, BPS, ATR BPN dan Kementerian lainnya,” tuturnya, dikutip dari cakaplah.com.
Wanda menyebutkan, persoalan data ini penting segera dirumuskan bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga tidak ada daerah yang merasakan ketidakadilan dalam pembagian DBH tersebut.
“Jangan sampai ada daerah yang merasa dirugikan karena menganggap pembagian DBH itu tidak adil dan tentunya akan menjadi masalah baru di kemudian hari,” ujarnya.
Selain itu, Wanda juga mempertanyakan terkait katagori produktivitas lahan, yang erat kaitannya dengan legalitas atau perizinan dari pabrik/perkebunan kelapa sawit. Jika tidak ada kesamaan data untuk menghitung luasan perkebunan kelapa sawit, baik yang memiliki izin ataupun yang tidak memiliki izin tentunya hal tersebut akan menjadi perdebatan panjang.
Wanda meminta pemerintah daerah segera melakukan inventarisasi data dan informasi yang valid mengenai perkebunan atau lahan yang sudah memiliki izin/legalitas ataupun yang non-perizinan.
“Data ini tentunya akan sangat krusial dalam rangka meningkatkan bagi hasil atau pendapatan bagi daerah kita untuk perkebunan dan perusahaan non-perizinan bisa didorong untuk mengurus izin,” ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Pusat melalui Kementrian Keuangan saat ini sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang DBH kelapa sawit sebagai peraturan pelaksana Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Dalam RPP itu, disebutkan pagu DBH sawit ditetapkan paling rendah sebesar 4% dari penerimaan negara; besaran persentase DBH sawit juga dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara; serta dalam kondisi tertentu Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH sawit nasional. Peruntukan DBH sawit tersebut dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 20%, Kabupaten/Kota penghasil sebesar 60% dan Kabupaten/Kota lainya yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sebesar 20%. **Ina