DERAKPOST.COM – Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Riau, Muhammad Syahrir, didakwa menerima suap, gratifikasi, pencucian uang. Bahkan Syahrir menyalahgunakan kekuasaannya untuk jadi makelar tanah.
Koordinator Umum Senarai mengawal kasus selama ini, Jeffri Sianturi, sebut dari 23 persidangan sudah dilakukan untuk menguak kasus tersebut. Eks Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau itu diketahui telah menerima lebih dari Rp21,13 miliar selama menjabat di Riau dan Maluku Utara.
Uang itu didapat Syahrir sebagai gratifikasi atau uang pelicin penerbitan HGB dan HGU perusahaan. Ia juga melakukan pencucian uang, memaksa bawahannya menyetor sejumlah uang, dan meminta perusahaan untuk memfasilitasi berbagai hal dengan alasan agar pengurusan izin mereka bisa lancar dan tidak tersendat.
Tak hanya itu, Syahrir juga menyuap mantan Bupati Kuansing Andi Putra sebanyak Rp500 juta untuk penerbitan rekomendasi kebun dan lahan.
Dakwaan kepada Syahrir yaitu pertama Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, Pasal 12 huruf B Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang UndangĀ 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Atau Kedua Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang UndangĀ 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dan ketiga Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP
“Modus Syahrir minta uang secara langsung, biasanya melalui ajudan atau lainnya. Kalau perusahaan tidak mau, seperti PT Eka Dura Indonesia, pengurusan tidak akan ditanggapi,” kata Jeffri, Rabu (30/8/2023).
Jeffri meminta kepada penegak hukum untuk menyadari betapa besarnya kejahatan yang dilakukan oleh Syahrir. Bahkan menurutnya, sangat terbuka kemungkinan jumlah uang yang diterima Syahrir lebih dari itu.
“Kita menilai orang sekelas Syahrir, dengan kewenangan sebesar itu, yang punya kuasa menerbitkan HGB dan HGU bisa menerima berapa?” pungkasnya.
Diketahui pada Senin, 7 Agustus 2023 lalu, Syahrir dijatuhkan tuntutan oleh Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penjara 11 tahun 6 bulan penjara, melakukan pembayaran uang pengganti sebesar 21,1 Miliar plus SGD 112.000 serta harta yang didapat dari hasil tindak pidana disita dan dirampas oleh negara.
Namun, Senarai dan tiga organisasi masyarakat sipil lainnya yaitu Gerakan Lawan Mafia Tanah (Gerla Mata), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai hukuman tersebut masih terlalu ringan.
Jeffri menyebut harusnya Syahrir dituntut 20 tahun penjara dan seluruh asetnya dirampas.
“Karena dia ini sudah mengakui semua perbuatannya dan mengakui menerima uang-uang tersebut. Ia bahkan mengaku pernah mengeluarkan Rp2,3 miliar untuk menutup mulut wartawan dan mahasiswa saat kasusnya mulai tercium,” tegas Jeffri.
Oleh karena Syahrir telah terbukti melanggar Dakwaan Kumulatif Kesatu pertama, Kedua dan Ketiga sebab sebagai pejabat penerbit izin ia memiliki produk keputusan yang penting dalam legalitas sebuah usaha perkebunan dan hak atas tanah serta telah mengakui perbuatannya, maka Senarai merekomendasikan tiga hal kepada majelis hakim.
“Satu, menghukum Syahrir dengan penjara selama 20 tahun serta rampas semua aset yang dikuasai dirinya dan keluarganya. Dua, tetapkan juga perusahaan pemberi uang terhadap Syahrir sebagai tersangka dan ketiga, Kementerian ATR/BPN harus komitmen dalam pemberantasan mafia perizinan,” tegasnya. **Fad