DERAKPOST.COM – Tepatnya tanggal 2 September kemarin, adalah hari yang paling bersejarah bagi petani sawit di Indonesia. Karena dihari itu Direktorat Perkebunan Republik Indonesia mengundang semua stakeholder sawit di negara ini, dari mulai asosiasi petani sampai asosiasi pengusaha sawit (GAPKI).
Hal ini terjadi karena ujung dari kesepahaman semua orang yang ada di dalam ruang rapat Gedung C Kementerian Pertanian di kawasan Ragunan Jakarta Timur itu.
Rapat yang dipimpin langsung oleh Dirjend Perkebunan, Dr Andi Nur Alamsyah, STP.,MT, aklamasi membuahkan hasil kesepakatan bahwa Peraturan Menteri Pertanian nomor 1 tahun 2018 Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun itu, telah sepakat untuk direvisi.
“Kami sudah setuju Permentan ini direvisi. Biar kita mendapat hasil yang betul-betul utuh,” kata Andi Nur Alamsyah dalam rilisnya.
Mendengar penjelasan Andi, perwakilan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Aokasindo), yang dipimpin oleh Ketua Harian DPP Apkasindo Ir H Gus Dalhari Harahap, didampingi Ir. Kawas Tarigan, Dr. Mulono, langsung menarik napas lega.
Tak terkecuali perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), SAMADE, ASPEK-PIR, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan undangan lainnya.
“Alhamdulilah. Amanah dari Ketua Umum DPP Apksindo yang menugaskan kami hadir disini terealisasi dan langsung disambut ucapan syukur semua peserta rapat, terkhusus Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ir. Baginda Siagian, M.Si yang memimpin rapat saat diskusi, karena hal ini adalah tupoksinya,” kata Gus.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA, C.APO, yang memonitor acara rapat di Ditjendbun dari Bali langsung terharu mendengar kabar revisi Permentan itu. Maklum, bagi Apkasindo sendiri, keberadaan Permentan itu sudah benar-benar jadi momok sejak 8 bulan belakangan.
“Saya izin tidak bisa hadir karena sedang mengikuti rapat Evalusi dampak pungutan ekspor terhadap kesejahteraan petani sawit bersama Kementerian Keuangan, BPDPKS, Kementerian Perdagangan dan stakeholeder sawit lainnya di Bali,” kata Gulat.
Sebuah organisasi akan menjadi baik kalau mengerti dengan keinginan anggotanya. Hakikatnya begitu. Nah, lantaran sudah teramat banyak keluhan anggota terkait Permentan itu, dua bulan lalu menggelar rapat koordinasi (rakor) secara virtual dengan 22 pengurus wilayah provinsi Apkasindo. Topiknya ya itu tadi; menampung aspirasi anggota terkait Permentan 01 itu.
Dalam Rakor, kata Gulat, yang juga Wakil Ketua Umum Santri Tani NU ini muncul kesepakatan dibuat Focus Group Discussion (FGD), dan mengundang ASPEK-PIR dan SAMADE tanggal 18 Agustus lalu.
Hasilnya, tiga asosiasi petani ini sepakat agar Permentan 1 tahun 2018 itu direvisi dengan berita acara dan absen yang sudah disiapkan oleh panitia. Selanjutnya FGD tersebut menghasilkan draft revisi yang akan diserahkan ke Tim hukum DPP Apkasindo untuk dibedah dari aspek hukum.
Adapun poin-poin penting penyebab mencuatnya usulan revisi itu antara lain bahwa selama ini harga penetapan disbun hanya untuk petani bermitra.
“Petani bermitra hanya sekitar 7%, masa petani swadaya yang 93% ditelantarkan? Lalu poin lainnya, rujukan dasar harga Tandan Buah Segar (TBS) dirubah ke Harga Referensi Kementerian Perdagangan. Masak nasib 17 juta petani sawit “ditender” di PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT.KPBN-BUMN)?,” suara Gulat meninggi.
Poin selanjutnya, tiga asosiasi petani sepakat bahwa Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) sebesar 2,63% dari harga TBS penetapan Disbun yang menjadi beban petani sawit selama ini supaya dihapus saja. Jumlahnya cukup fantastis.
Misalnya di Riau, harga TBS Disbun (30/8/2022) sebelum di potong BOTL Rp2.620, lalu setelah dipotong 2,63% (BOTL), maka harga penetapan TBS Petani yang diumumkan Disbun Riau adalah Rp2.551/kg TBS.
“Artinya ada hilang Rp69/kg TBS dari harga TBS Petani. Jika Riau dengan luas lahan petani yang berproduksi sekitar 1,61 juta ha dengan produksi rata-rata 1.100 kg TBS/ha/bulan, maka potensi kerugian petani Riau Bulan Agustus lalu mencapai Rp122 milliar,” papar Gulat.
Biaya ini tak pernah dipertanggungjawabkan pihak yang memotong. Dalam regulasi Permentan 01/2018 wajib dipertanggungjawabkan kepada Gubernur cq Kadisbun setiap bulan. Dan selanjutnya disebut jika tidak dipertanggungjawabkan maka potongan BOTL tidak diberlakukan pada bulan berikutnya.
“Tapi faktanya, selalu dipotong sudah empat tahun berjalan tanpa pernah dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dari pada nanti menjadi kasus pidana tipikor bagi PKS yang memotong, lebih baik dihapus saja melalui revisi permentan 01/2018 tersebut,” kata Gulat.
“Selanjutnya Rendemen TBS petani swadaya sudah naik. Ini sesuai dengan usulan APKASINDO supaya di uji ulang persentase rendemen TBS Petani di 22 Provinsi Apkasindo,” cakapnya lagi.
Lebih jauh, ia mengarakan, hasil uji yang dilakukan oleh PPKS Medan, sampai saat ini sudah berjalan di 10 Provinsi Sawit, terbukti rendemen TBS Petani naik cukup signifikan.
“Masak PKS masih memakai angka persentase rendemen zaman kuda 18-20%. Naiknya rendemen ini sebagai bukti keberhasilan Dinas Perkebunan seluruh Indonesia membina dan melatih kami Petani sawit untuk menerapkan good agricultural practices (GAP),” tegas Gulat.
Namun yang pasti 17 juta petani sawit dan pekerja sawit sudah berhasil meraih haknya meskipun masih menunggu permentan hasil revisi tersebut disyahkan.
“Selamat buat Petani Sawit Indonesia dari Aceh sampai Papua. Merdeka,” tutup Gulat. **Rul/Rls