DERAKPOST.COM – Direktur Paradigma Riko Kurniawan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar mewaspadai pihak-pihak tertentu yang masih berusaha sisipkan kepentingan mereka dengan lahirnya UU Cipta Kerja.
”Banyak oknum sepertinya masih kecewa karena Menteri LHK tidak mengakomodir apa yang mereka inginkan, karena ternyata di UUCK tidak ada pengampunan atau pemutihan kebun sawit dalam kawasan hutan,” kata Riko dalam releasenya pada awak media, Selasa (30/8/2022).
Meski desakan untuk pemutihan atau pengampunan terus digulirkan banyak pihak, bahkan sempat muncul wacana menjadikan sawit sebagai tanaman hutan, Paradigma meminta KLHK tetap fokus dan konsisten saja menjalankan amanat UUCK pasal 110 A dan 110 B, serta PP 24 tahun 2021.
Paradigma meminta KLHK tidak terpengaruh, seperti misalnya ada yang menggulirkan informasi bahwa Sekjen atau Dirjen Gakkum KLHK menyampaikan perihal pengampunan atau pemutihan kebun sawit seluas 1,4 juta dalam kawasan hutan saat RDP dengan DPR RI.
”Padahal setelah kita cek, ternyata tidak ada kalimat itu keluar saat sidang dengan DPR. Jadi siapa yang menggulirkan narasi pengampunan atau pemutihan ini? di dalam UUCK dan penjelasan KLHK sebelumnya sudah jelas menegaskan tidak ada istilah diampuni. Jadi hentikan spekulasi dan kita dorong negara dalam hal ini KLHK, tetap tegak dan teguh dengan kebijakan UUCK untuk kepastian hukum dan masa depan lingkungan di Riau,” tegas Riko.
UU Cipta Kerja hadir sebagai peluang penyelesaian tumpang tindih lahan akibat kebijakan di masa lalu. Di Provinsi Riau misalnya, sekitar 1,4 juta ha kebun sawit terindikasi berada dalam kawasan hutan disebabkan banyak faktor seperti keluarnya ijin prinsip dari Pemda, tata ruang yang tiba-tiba berubah, hingga perambahan.
Setelah hadirnya UUCK, banyak pihak yang kemudian kata Riko, mencoba ‘bermain di air keruh’ dengan menggulirkan isu bahwa KLHK akan melakukan pengampunan ataupun pemutihan untuk kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan ini. Nyatanya dalam pasal 110 A dan 110 B hingga peraturan turunannya keluar dalam bentuk PP 24 tahun 2021, sanksi hukum lingkungan tetap berlaku dengan pendekatan ultimum remedium (mengedepankan sanksi administrasi baru disusul sanksi pidana).
”Ini sudah tepat karena jika yang dikedepankan langsung pidana justru bisa merugikan masyarakat adat ataupun rakyat yang sudah lama memiliki kebun sawit di bawah 5 ha. Bagi kebun sawit rakyat ini tidak dikenai denda administratif ataupun pidana, namun diberi kesempatan mengurus perijinan usahanya agar ada kepastian hukum,” kata Riko.
Sedangkan yang di atas 5 ha termasuk kategori milik konsesi, maka dikenakan kewajiban membayar denda, wajib mengurus perijinan, tidak boleh lagi menanam sawit setelah satu kali daur, dan bila dalam kurun waktu tiga tahun setelah UUCK tak mengurus semuanya, maka akan langsung dipidana, bahkan Gakkum LHK bisa menindaknya tanpa perlu ijin pengadilan. Bagi membuka kebun baru setelah UUCK lahir, juga akan langsung dikenakan sanksi pidana.
Khusus untuk hutan lindung dan konservasi, meski telah menjalankan sanksi bayar denda administrasi, kebun sawit ilegal hanya diberi kesempatan satu kali daur saja dan dimasa itu tidak boleh replanting. ”Jadi dalam UUCK itu sebenarnya baik punya rakyat maupun konsesi, selagi dalam kawasan hutan maka akan tetap diberi sanksi hukum. Namun pendekatan kebijakan humanis, tidak langsung pidana dan memberi peluang bagi semua pihak mendapat kepastian hukum usaha mereka di masa depan,” katanya.
Mantan Ketua Walhi Riau ini juga menyebutkan bahwa Menteri LHK Siti Nurbaya telah menjadikan Riau sebagai salah satu contoh penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Hal ini mulai dijajaki Paradigma untuk kasus di Siak dan Pelalawan.
Pemutihan atau pengampunan kata Riko menjadi incaran pelaku bisnis yang biasa bermain dalam kawasan hutan secara ilegal. Ini yang harus dikawal karena banyak pihak salah menafsirkan UUCK dan berasumsi kalau bukan hukuman kurung badan, maka akan diampuni setelah bayar denda.
”Jadi para cukong pemilik kebun ilegal mungkin kecewa karena ternyata UUCK tidak mengakomodir keinginan mereka dengan semudah itu. Sanksi administrasi bayar denda dalam jumlah besar adalah bentuk perlakuan yang setara di mata hukum, dan diiringi sanksi pidana bila tidak dapat dipenuhi, tanpa mengurangi tanggungjawab pemulihan lingkungan’,’ jelas Riko.
Ia juga mengajak semua pihak untuk fokus pada perjuangan merealisasikan perhutanan sosial di Indonesia.
”Contohnya di Riau, Menteri LHK sudah mengakomodir dalam peta perhutanan sosial itu seluas 1,2 juta ha, termasuk di dalamnya untuk masyarakat adat. Namun hingga saat ini realisasinya masih sangat rendah sekali. Harusnya peluang inilah yang diperjuangkan bersama, jangan sampai justru ikut menggulirkan isu adanya pengampunan atau pemutihan yang jelas-jelas tidak ada dalam UUCK,” tutup Riko. **Rul/Rls