Soal Kebun Sawit 1.200 Hektar di TNTN, Yayasan Riau Madani Kalahkan Menteri LHK dan Dirjen Gakkum

0 131

 

DERAKPOST.COM – Yayasan Riau Madani meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk patuh terhadap putusan PTUN Pekanbaru terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare  di dalam kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Menteri Siti diminta untuk legowo melaksanakan putusan PTUN sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian dalam penyelamatan hutan yang sudah rusak parah.

“Kalau memang masih memiliki kepedulian dan tanggung jawab dalam menyelamatkan hutan, maka seharusnya putusan PTUN tersebut segera dilakukan. Kami kira itu adalah sikap gentlement dari seorang pimpinan lembaga. Apalagi, hakim sudah menetapkan putusannya secara terang benderang,” kata Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH.

Surya Darma menyatakan, meski masih tersedia upaya hukum melakukan banding, namun sikap untuk menerima putusan PTUN adalah pilihan yang paling bijak. Hal ini menurut Surya akan menunjukkan keseriusan dan komitmen pemerintah (KLHK) sebagai otoritas (leading sector) terdepan penyelamatan hutan yang tersisa.

“Karena kami mendengar kalau Ibu Menteri selalu menyatakan komit menahan laju deforestasi hutan. Nah, ini momentum yang tepat untuk membuktikan kampanye itu. Mumpung KTT Perubahan Iklim COP27 dan KTT G20 baru saja selesai. Ini pertaruhan marwah institusi kementerian untuk menunjukkan konsistensi antara ucapan dengan tindakan,” tegasnya dikutip dari sabangmeraukenews.

Sebelumnya diwartakan, Yayasan Riau Madani kembali mengalahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam gugatan tata usaha negara di PTUN Pekanbaru, Selasa (15/11/2022) lalu.

Tak hanya mengalahkan Menteri LHK, Yayasan Riau Madani ‘meng-KO-kan’ Dirjen Penegakan Hukum KLHK dan Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo dalam perkara terbaru, terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau ini.

“Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III untuk seluruhnya. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian,” tulis majelis hakim PTUN Pekanbaru dalam amar putusannya, Selasa pagi tadi.

Dalam perkara kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, Yayasan Riau Madani menyeret Kepala Balai TNTN sebagai Tergugat I, Menteri LHK sebagai Tergugat II dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK sebagai Tergugat III.

Majelis hakim dalam pertimbangan putusannya menyebut para tergugat tidak melaksanakan kewenangan, tugas dan fungsinya dalam melakukan perlindungan, pengamanan dan pengelolaan TNTN. Padahal oleh negara, ketiga tergugat telah diberikan tanggung jawab dan tugas untuk itu sesuai kewenangannya.

Atas dasar itu, majelis hakim yang menyatakan terdapat alat bukti yang kuat bahwa Menteri LHK dkk melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang konkret dalam melaksanakan perlindungan TNTN.

Surya Darma juga meminta Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK dan Kepala Balai TNTN untuk patuh pada putusan PTUN tersebut. Apalagi dalam putusan tersebut, majelis hakim secara tegas telah mewajibkan keduanya untuk melakukan penegakan hukum dan lingkungan berkaitan dengan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di TNTN tersebut.

“Dirjen Gakkum sepatutnya patuh melaksanakan putusan PTUN ini.  Dulu pernah saya baca Gakkum menurunkan tim bersenjata laras panjang untuk menyegel pabrik kelapa sawit di Bengkalis. Nah, terhadap perambah hutan konservasi TNTN, harusnya hal itu juga dilakukan,” sindir Surya Darma.

Kesempatan itu, ada jawaban vantahan PT Inti Indosawit Subur. Yang menyatai dalam perkara ini juga disebut-sebut kalau keberadaan kebun kelapa sawit pada lahan seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi TNTN diduga dikelola oleh PT Inti Indosawit Subur.

Meski demikian, manajemen PT Inti Indosawit Subur telah membantah keras tudingan serius tersebut. Perusahaan yang terafiliasi dengan Asian Agri Grup ini menolak disebut sebagai pengelola kebun sawit.

“PT Inti Indosawit Subur tidak mengelola areal seluas 1.200 hektar di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN),” demikian pernyataan tertulis yang dikirimkan Manager Humas PT Inti Indosawit Subur, Ahmad Taufik, Kamis (17/11/2022).

Korporasi PT Inti Indosawit Subur, sebut Taufik, tidak melakukan pembangunan kelapa sawit pada areal tersebut (TNTN). Publikasi tersebut sangat merugikan perusahaan dan berdampak negatif terhadap operasional PT Inti Indosawit Makmur di mata para stakeholder perusahaan.

Sepanjang persidangan, pengadilan sudah melakukan dua kali pemanggilan, namun manajemen PT Inti Indosawit Subur tak pernah hadir.

Menurut Surya Darma, bantahan PT Inti Indosawit Subur tersebut agak aneh. Soalnya, tanda-tanda pengelolaan kebun sawit dikelola profesional layaknya kebun korporasi saat jelas di lapangan. Dari kondisi tanaman dan infrastruktur pendukung kebun, sulit mencari alasan untuk mengelak.

“Dan untuk itu, Dirjen Gakkum KLHK maupun aparat hukum lainnya harus menelisik ke mana hasil panen TBS kelapa sawit tersebut dikirim. Lacak saja ke pabrik kelapa sawit (PKS) mana TBS diantar. Ini sangat mudah menelusurinya,” tegas Surya.

Diketahui. Trio majelis hakim dalam perkara ini juga mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani yang meminta agar menghukum para Tergugat supaya melakukan pemulihan terhadap kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang telah rusak akibat adanya pembangunan perkebunan kelapa sawit  seluas 1.200 hektar tersebut.

“Mewajibkan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III secara bersama-sama untuk melakukan tindakan pemerintahan berupa pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup hutan konservasi TNTN, khususnya terhadap areal kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit dan melakukan reboisasi sesuai jenis tumbuhan di hutan konservasi,” demikian amar putusan majelis hakim TUN Pekanbaru.

Majelis hakim juga dalam putusannya mewajibkan Kepala Balai TNTN dan Dirjen Gakkum KLHK melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan perkebunan kelapa sawit tersebut.

“Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan penegakan hukum lainnya berdasar peraturan perundang-undang yang berlaku,” tegas majelis hakim dalam putusannya.

Majelis hakim juga mewajibkan Menteri LHK dan atau pihak-pihak terkait melalui Menteri LHK untuk menanggung seluruh kerugian lingkungan hidup atas biaya pemulihan dan penanaman kembali (reboisasi) terhadap kerusakan kawasan konservasi TNTN.

“Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III bersama-sama membayar biaya perkara sebesar Rp 7,63 juta,” demikian putusan majelis hakim.

Putusan hukum cukup spektakuler ini ditetapkan oleh trio majelis hakim TUN Pekanbaru yang terdiri dari Darmawi SH sebagai ketua majelis dan hakim Selvie Ruthyarodh SH, MH serta Erick S Sihombing SH sebagai anggota.

Gugatan ini didaftarkan oleh Yayasan Riau Madani pada Kamis, 30 Juni 2022 lalu dengan nomor registrasi perkara: 36/G/TF/2022/PTUN.PBR dan dijatuhkan putusan pada Selasa (15/11/2022) lalu.

Kesampingkan UU Cipta Kerja

Gugatan Yayasan Riau Madani yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini seolah menjadi pukulan telak bagi negara dalam hal ini Kementerian LHK yang telah lalai dan tidak melakukan tindakan dalam aksi pendudukan kawasan konservasi TNTN yang disulap menjadi kebun kelapa sawit.

“Putusan hakim ini merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya penyelamatan hutan dan lingkungan. Kami sangat mengapresiasi majelis hakim yang sangat pro natural karena memandang hutan serta lingkungan sebagai masa depan kehidupan,” kata Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma S.Ag, SH, MH usai menerima putusan tersebut.

Surya Darma juga menilai, putusan tersebut menjadi fakta bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dapat dikesampingkan. Soalnya, seluruh dalil-dalil para tergugat (Menteri LHK, Dirjen Gakkum dan Kepala Balai TNTN) yang menggunakan tameng UU Cipta Kerja khususnya pasal 110A dan 110B tidak dipertimbangkan atau dikesampingan oleh majelis hakim.

Sebagaimana diketahui, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji material tahun lalu telah menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Dampaknya UU tersebut harus diperbaiki dan tidak bisa dipergunakan untuk kebijakan atau tindakan pemerintah yang bersifat strategis.

“UU Cipta Kerja dalam kasus kejahatan kehutanan telah dapat dikesampingkan. Sebagaimana juga telah terjadi dalam kasus kebun kelapa sawit milik PT Duta Palma Grup yang diproses oleh Kejaksaan Agung dan perkaranya saat ini sudah bergulir di persidangan PN Jakarta Pusat. Gugatan kami yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini kami nilai nafasnya juga sama,” tegas Surya Darma.

Surya Darma juga mempertanyakan soal penggunaan dana reboisasi oleh Kementerian LHK. Termasuk soal upaya atau kegiatan pengamanan hutan dan lingkungan yang dilakukan Kementerian dalam menjaga kelestarian kawasan hutan, khususnya kawasan hutan konservasi.

Sebagaimana diwartakan sebelumnya, kerusakan kawasan hutan konservasi tak hanya terjadi di TNTN. Namun juga hampir di seluruh hutan konservasi lainnya, seperti Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis, Suaka Margasatwa Kerumutan dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

“Gugatan kami ini menjadi hentakan untuk mempertanyakan upaya penjagaan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan konservasi di Riau yang telah dilakukan selama ini,” tegas Surya.

Sayangnya, Menteri LHK Siti Nurbaya dan Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani belum menjawab pesan konfirmasi yang dilayangkan SabangMerauke News via WhatsApp. **Rul

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.