Soal Terbitnya Permenaker No 18/2022, Ini Kata Muhammad Herwan

0 146

 

DERAKPOST.COM – Fenomena penetapan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota telah menjadi problematika ketenagakerjaan yang berulang setiap tahun, bagaikan penyakit kronis yang tak ada obat penyembuhnya.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ida Fauziyah, menerbitkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Permenaker baru ini resmi ditandatangani Menaker tanggal 16 Novemver 2022 dan diundangkan pada 17 Novemver 2022, infomasi ini disampaikan Menaker menggandeng Menteri Dalam Negeri pada hari Jum’at 18 November 2022 kemarin saat mengumumkan melalui video konferensi bersama para Gubernur dan Kepala Dinas Tenaga Kerja se Indonesia.

Beberapa ketentuan di dalam Permenaker ini menekankan bahwa penyesuaian nilai upah minimum untuk 2023 dihitung menggunakan formulasi penghitungan dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.

Berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini, upah minimum 2023 dipastikan mengalami kenaikan. Namun, ada pembatasan maksimal, yakni 10 persen, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1), selanjutnya ditegaskan lagi pada ayat 2 yang menyebutkan : ”Dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 10 persen, gubernur menetapkan Upah Minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen.

Terkait dengan penerbitan Permenaker baru ini, Pemerhati Kebijakan Publik Riau, Muhammad Herwan, mengatakan bahwa sah-sah saja pemerintah menerbitkan regulasi tentang pengupahan, terutama untuk memberikan keadilan bagi pekerja dan pengusaha. Namun tentunya dengan tetap berpedoman dan tidak bertentangan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini bertentangan dan seolah membatalkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Upah Minimum.

Menurutnya, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Tata Urutan Perundang undangan) di Indonesia, aturan perundang undangan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan atau membatalkan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Walaupun dalam konsideran mengingat, Permenaker No. 18 tahun 2022 masih mencantumkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, namun klausul tentang tata cara penghitungan dan formulasi nilai upah minimum dalam Permenaker ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (aturan yang lebih tinggi). Seharusnya Menaker terlebih dahulu mengusulkan melakukan revisi PP Nomor 36 Tahun 2021, jika tidak maka Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 batal demi hukum,” tandasnya.

Di sisi lain, perubahan peraturan disaat-saat akhir deadline (batas waktu) penetapan UMP, apalagi sebagian besar provinsi sudah menetapkan besaran UMP, Provinsi Riau misalnya, melalui Rapat Dewan Pengupahan Provinsi Selasa 15 November 2022 telah sepakati Upah Minimum Provinsi Riau tahun 2023 naik sebesar 5,69 persen atau Rp167.146,87 dari UMP tahun 2022 sebesar Rp 2.938.564,01 menjadi Rp3.105.710.88. Dengan terbitnya aturan baru ini tentunya akan menimbulkan potensi persoalan baru.

Hal ini juga, menurut Herwan menjadi tambahan fakta praktik adanya ketidakpastian hukum di Indonesia, ini sangat merugikan dunia usaha dan membahayakan iklim Investasi di Indonesia.

Pemerintah pusat tambahnya, harusnya lebih bijak dan cermat dalam membuat aturan hukum, jangan seperti ini, yang akan menyulitkan posisi pemerintah daerah dan gejolak dunia usaha di daerah. Sudah saat nya pemerintah membuat aturan tentang pengupahan ini secara lebih cermat dan bijak, serta memberikan kepastian hukum yang tidak berubah-ubah setiap tahun, pengalaman panjang penetapan upah yang sering diiringi dengan aksi unjuk rasa dan terkadang terjadi anarkis, sepatutnya dijadikan pelajaran berharga agar tidak merugikan pekerja maupun dunia usaha dan perekonomian nasional.

“Jangan sampai menjelang agenda politik 2024 ini, peraturan perundang undangan yang terkait dengan dunia usaha dan iklim investasi ataupun sektor lainnya, diubah begitu saja hanya dengan alasan politis, tanpa mempertimbangkan kondusifitas dunia usaha dan pemerintahan di daerah,” sebut Herwan.

Adanya agenda politik pemilu dan pilpres 2024 saja, dunia usaha dan investor saat ini masih “wait and see”, ditambah dengan gonta-ganti peraturan perundang undangan yang hanya mengakomodir kepentingan politik sesaat seperti ini, justru akan menggangu iklim dunia usaha Indonesia yang baru saja akan bangkit dari keterpurukan dampak pandemi covid-19 dan akan membuat investor hengkang dari Indonesia.

“Pelaku dunia usaha dan investor itu perlu adanya kepastian hukum, selain kemudahan berinvestasi maupun kenyamanan dan keamanan usaha,” pungkasnya. **Rul/Rls

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.