DERAKPOST.COM – Guna menutupi hal kerugian materiil itu mencapai Rp491 miliar, Kejaksaan Agung RI diminta agar menyita aset dari PT Jatim Jaya Perkasa (JJP). Harapan itu, diungkap oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Tri Karya (PETIR) dinakhodai Jackson Sihombing.
Ketua Umum (Ketum) PETIR ini dengan tegas mengatakan, pihaknya juga sangat kecewa pada phak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang lamban dan tidak tegas menindaklanjuti akan putusan Mahkamah Agung (MA).
“Nilai tersebut muncul sebagai konsekuensi atas keputusan pengadilan terkait perkara perdata kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan perusahaan di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) pada 2015, mencakup area seluas 1.000 hektare,” katanya.
Jackson Sihombin menilai pihaknya KLHK lamban dan tidak tegas dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA), sehingga pembayaran kerugian materiil tersebut menjadi berlarut-larut. “KLHK seolah biarkan PT JIP meabaikan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),” katanya.
Jackson dalam keterangannya kepada media menjelaskan, kerugian materiil sebesar Rp491 miliar itu, seharusnya dibayar perusahaan ini pada negara, tetapi hingga kini tidak ada tindakan nyata dari KLHK.
Jackson menjelaskan bahwa putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam putusan MA Nomor : 728 PK/PDT/2020, Jo Putusan MA Nomor : 1095 K/PDT/2018, serta keputusan-keputusan sebelumnya di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Dalam perkara yang diajukan KLHK ini, PT JJP terbukti bersalah atas kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan merusak ekosistem.
“KLHK punya kewenangan perdata, tetapi kami mendorong Kejaksaan Agung mengambil langkah lebih tegas dari sisi pidana, agar eksekusi putusan berjalan sesuai hukum. Hal ini penting karena kerugian negara yang ditimbulkan PT JIP itu sangat besar,” imbuh Jackson.
Dikesempatan itu, Jackson mengatakan, sejarah putusan dan upaya banding yang dilakukan PT JIP. Yang diketahui perkara ini dimulai pada 9 Juni 2016 saat Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan putusan Nomor : 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. Dalam amar putusan tersebut, PT JJP diperintahkan untuk membayar ganti rugi materiil Rp7,1 miliar ke rekening kas negara dan melakukan pemulihan lingkungan pada lahan terbakar seluas 120 hektare dengan biaya Rp22,2 miliar. Namun, pihak PT JJP mengajukan banding atas putusan tersebut.
Pada Maret 2017, PT DKI Jakarta kemudian memutus perkara Nomor : 727/PDT/2016/PT.DKI dengan menguatkan keputusan PN Jakarta Utara, bahkan menambahkan jumlah kerugian materiil yang harus dibayar PT Jatim Jaya Perkasa menjadi Rp491,02 miliar. Rinciannya, Rp119,8 miliar untuk ganti rugi materiil dan Rp371 miliar untuk biaya pemulihan lingkungan. Pengadilan juga menetapkan uang paksa (dwangsom) Rp25 juta per hari jika perusahaan terlambat melaksanakan tindakan pemulihan.
Menurut Jackson, lambannya tindakan terhadap PT JJP itu memberi dampak buruk pada ketegasan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup di masa depan. Ormas PETIR berharap kepada Kejaksaan Agung segera mengambil langkah pidana jika PT JJP tetap mengabaikan kewajibannya. (Dairul)