DERAKPOST.COM – Krisis pangan akibat perubahan iklim dan perang global telah menyebar ke seluruh belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia terkena dampak.
Hal inipun ditandai dengan melonjaknya harga-harga pangan pokok yang berupa beras, gandum, kedelai, jagung, dan lain sebagainya.
Data The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) pada tahun 2023 angka kelaparan penduduk dunia mencapai 691 hingga 783 juta jiwa. Sedangkan Food and Agriculture Organization (FAO), mengungkapkan angka kelaparan Indonesia masih tergolong tinggi menempati posisi kedua tertinggi di kelompok negara ASEAN, setelah Timor Leste.
Namun jika dilihat dari segi jumlah penduduk, angka kelaparan Indonesia menempati peringkat puncak di ASEAN, Sebanyak 16,2 juta orang kelaparan di Indonesia. “Negara Indonesia, di tahun
2023 angka kelaparan penduduk dunia masih tergolong tinggi. Kalau ditingkat ASEAN, Indonesia ini menempati posisi kedua tertinggi setelah Timor Leste,” ujar Willi Muchlisien.
Wakil Ketua DPW Partai Perindo Riau ini
juga mengatakan, bahwa mitigasi untuk mengatasi ancaman krisis pangan itu adalah dengan menekankan perbaikan tata kelola pangan untuk bisa mencapai goals Kedaulatan Pangan. Kedaulatan Pangan itu sendiri yang berarti memiliki kemampuan bisa memproduksi pangan secara mandiri.
“Contohnya di Provinsi Riau ini memiliki Kecamatan Bungaraya, Kabupaten Siak adalah sentra penghasil beras terbesar.
Maka, ke depan kita perlu memperluas wilayah-wilayah memproduksi pangan ini. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan di daerah ini. Jikalau melimpah, tentu kita bisa membantu provinsi lain memenuhi kebutuhan pangan,” terang Willi Muchlisien.
Pria merupakan Calon Legislatif DPRD Provinsi Riau Dapil Siak dan Pelalawan dari Partai Perindo, yang akrab disapa bang WM ini menyebutkan, walaupun pemerintah menyarankan masyarakat itu agar beralih mengkonsumsi ketela, ubi-ubian, sorgum atau porang. Namun merubah kebiasaan masyarakat dalam mekonsumsi nasi sebagai menu utama makanan orang Indonesia, hal itu tidak mudah dapat diterima masyarakat.
“Menutup keran ekspor dan membuka impor pangan selebar-lebarnya bukan lah solusi. Tapi yang harus ditekankan disini adalah bagaimana cara kita mulai menata tata kelola produksi pangan jadi berdaulat. Inikan sebagai solusi terbaik jangka panjang agar berkesinambungan dengan tidak ada kekhawatiran lagi hal pangan dan kelaparan,” pungkas Willi. **Rul