Wow…. Putin Buka-bukaan Soal Alasan Serang Ukraina

0 201

 

DERAKPOST.COM – Serangan Rusia ke Ukraina jadi salah mengejutkan warga dunia ketika diperintahkan Presiden Vladimir Putin pada awal 2022 lalu. Dihadapan sejumlah pimpinan negara Afrika, Putin menjelaskan titik awal yang mendasari serangan itu.

Presiden Rusia Vladimir Putin menerima delegasi para pemimpin beberapa negara Afrika yang mengemban misi mengupayakan solusi damai untuk konflik Rusia-Ukraina, Sabtu (17/6/2023). Pada kesempatan itu, Putin menjelaskan tentang sikap negaranya terkait perang yang kini masih berlangsung.

Putin menjelaskan, krisis di Ukraina mulai muncul sejak peristiwa kudeta tahun 2014. Kala itu, mantan presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia digulingkan rakyat karena keputusannya menolak bergabung dengan pakta perdagangan Uni Eropa.

Dia justru meminjam bantuan finansial kepada Moskow dan menerima tawaran Rusia untuk bergabung dengan serikat pabean Eurasia. Rakyat Ukraina tak puas dengan keputusan tersebut dan menggelar demonstrasi selama sekitar tiga bulan hingga berujung pada penggulingan Yanukovych pada Februari 2014.

Putin mengatakan, Barat mensponsori kudeta terhadap Yanukovych. “Semua masalah Ukraina muncul setelah kudeta negara, inkonstitusional, bersenjata dan berdarah pada 2014, dan kudeta itu didukung oleh sponsor Barat. Mereka (Barat) tidak ragu untuk membicarakan dan mereka membicarakannya, bahkan mengungkapkan berapa banyak uang yang telah mereka habiskan untuk persiapan dan implementasi kudeta tersebut. Oleh karena itu, sumber kekuatan penguasa Kiev saat ini adalah kudeta,” ucap Putin kepada para delegasi Afrika.

Dia menambahkan, setelah kudeta tersebut, Rusia menawarkan dukungan kepada masyarakat di Donbass. Putin menjelaskan, sejumlah masyarakat di Donbass tidak mendukung kudeta dan menyatakan tidak akan mematuhi pemimpin baru Ukraina.

“Rusia terpaksa membela orang-orang itu, mengingat ikatan sejarah baik kami dengan wilayah serta budaya dan bahasa orang-orang yang tinggal di sana (Donbass). Untuk waktu yang lama kami berusaha menyelesaikan situasi di Ukraina melalui cara damai,” kata Putin.

Saat Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca kudeta tahun 2014, Rusia mengerahkan pasukannya ke Krimea. Putin mengatakan langkah itu dilakukan untuk melindungi warga etnis Rusia di wilayah tersebut yang terancam oleh rezim baru Ukraina.

Kelompok oposisi dari pemerintahan Yanukovych mengecam aksi Rusia. Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat (AS), turut mengkritik keras pengerahan pasukan Rusia ke Krimea.

Di tengah situasi demikian, otoritas Krimea menggelar referendum tentang reunifikasi dengan Rusia. Sebagian besar pemilih (96,7 persen di Krimea dan 95,6 persen di Sevastopol) mendukung gagasan tersebut. Jumlah warga yang berpartisipasi dalam proses referendum mencapai 80 persen.

Pada Maret 2014, Putin menandatangani perjanjian tentang reunifikasi Krimea dengan Rusia. Perjanjian diratifikasi oleh Majelis Federal Rusia pada 21 Maret 2014. Namun Ukraina menolak mengakui kemerdekaan Krimea dan keputusannya bersatu kembali dengan Rusia. Komunitas internasional pun memandang langkah Rusia di Krimea sebagai bentuk aneksasi atau pencaplokan.

Presiden Senegal Macky Sall dan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa memimpin delegasi Afrika yang didalamnya termasuk pemimpin dari Zambia, Komoro, dan perdana menteri Mesir. Sebelum bertemu Putin, mereka sudah berkunjung ke Kiev dan bertemu Presiden Volodymyr Zelensky pada Jumat (16/6/2023).

Salah satu hal yang ditekankan Putin dalam pertemuan dengan delegasi Afrika adalah tentang kesediaan Rusia untuk melakukan dialog bersama Ukraina. “Rusia tidak pernah menolak untuk mengadakan pembicaraan,” ujarnya, dikutip kantor berita Rusia, TASS.

Dalam konferensi pers bersama, Zelensky mengatakan Rusia perlu membekukan perang guna memungkinkan negosiasi. “Saya tekankan sekali lagi, kami membutuhkan perdamaian sejati, dan karena alasan itu, penarikan nyata pasukan Rusia dari seluruh tanah merdeka kami,” ujarnya.

Sementara itu Cyril Ramaphosa mengatakan perang harus diselesaikan melalui cara diplomatik. “Hari ini, selama kunjungan kami, kami mendengar serangan rudal. Kegiatan semacam itu tidak bekerja dengan baik untuk perdamaian. Oleh karena itu, kami berbicara tentang perlunya deeskalasi di kedua sisi sehingga perdamaian menemukan jalan dan menyelesaikan situasi,” katanya.

Ukraina dan NATO

Salah satu kekhawatiran lain Rusia adalah soal kian dekatnya kekuatan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke wilayahnya melalui Ukraina. Terkait hal itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan, Ukraina harus memenuhi standar yang sama jika hendak menjadi anggota NATO.

Meski saat ini tengah terlibat konflik dengan Rusia, Biden menyebut, AS tidak akan membuat pengaturan khusus dalam proses aneksasi Kiev ke NATO. “Mereka (Ukraina) harus memenuhi standar yang sama (untuk jadi anggota NATO). Jadi kami tidak akan membuatnya mudah,” ujar Biden kepada awak media, Sabtu (17/6/2023).

Bulan depan, KTT NATO diagendakan digelar di Vilnius, Lithuania. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengungkapkan, pada KTT nanti, para pemimpin negara anggota sudah merencanakan penyelenggaraan sesi pertama Dewan NATO-Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan turut berpartisipasi di dalamnya.

Menurut Stoltenberg, sesi tersebut akan memberi Ukraina kursi lebih setara untuk berkonsultasi dan memutuskan masalah keamanan. Kendati demikian, Stoltenberg menambahkan, meski NATO akan mempererat hubungan politik dengan Ukraina, di KTT nanti topik terkait potensi keanggotaan Kiev di aliansi tersebut tidak akan dibahas.

“Kami tidak akan membahas undangan (keanggotaan) di KTT Vilnius, tetapi bagaimana kami dapat mendekatkan Ukraina ke NATO. Saya yakin bahwa kami akan menemukan solusi dan konsensus yang baik,” kata Stoltenberg pada Jumat (16/6/2023) lalu.

Pada April lalu, Volodymyr Zelensky mendesak NATO untuk segera merangkul negaranya sebagai anggota resmi blok tersebut. Hal itu disampaikan ketika Jens Stoltenberg melakukan kunjungan perdana ke Kiev sejak dimulainya konflik dengan Rusia pada Februari 2021 lalu.

Zelensky mengatakan, KTT NATO yang diagendakan digelar di Lithuania pada Juli mendatang bisa menjadi momen bersejarah jika Ukraina menerima undangan resmi untuk bergabung dengan aliansi tersebut. “Sudah waktunya untuk mengambil keputusan yang tepat,” ujarnya dalam konferensi pers bersama Stoltenberg, 20 April 2023 lalu.

Berbeda dengan pernyataan terbarunya, dalam konferensi pers di Kiev Stoltenberg memastikan bahwa isu keanggotaan Ukraina akan menjadi agenda utama dalam pembahasan KTT NATO pada Juli mendatang. “NATO akan mendukung Anda hari ini, besok, dan selama yang dibutuhkan,” ujarnya.

Pada 30 September 2022, Zelensky secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan Ukraina kepada NATO. Langkah itu diambil hanya beberapa jam setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengesahkan aneksasi empat wilayah Ukraina, yakni Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia. Zelensky mendesak NATO memberikan keanggotaan “jalur cepat” kepada negaranya.

Karena masih dalam keadaan berperang, NATO tidak mungkin menerima masuknya Ukraina. Terdapat Pasal 5 NATO yang mengatur bahwa jika salah satu anggotanya diserang, maka serangan tersebut harus dipandang sebagai agresi ke semua anggota. **Rul

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.